Jumat, 29 Agustus 2014

AKU CINTA INDONESIA


Aku cinta padamu Indonesia
Sejak orang tuaku masi pacaran sampai aku dilahirkan
Sejak pak Soekarno masih hidup sampai Pak Suekarno meninggal dunia
Sejak pemilihan presiden baru sampai banyak orang menjadi gila karena Tahta

Aku cinta padamu Indonesia
Sejak dulu kau masih hijau sampai kini kau tinggal asap
Sejak dulu kau masih luas sampai kini kau mulai menyempit
sejak kau telah merdeka sampai kau terjajah lagi

Aku cinta padamu Indonesia
Sejak belum ada KPK sampai ada KPK
Sejak ada korupsi sampai masih saja korupsi
Sejak gayus tambunan, nasarudin, anas umbraningrum masih melarat
Sampai jadi konglomerat karna harta rakyat

Aku cinta padamu Indonesia
Sejak Pak SBY menerbitkan buku dengan judul selalu ada pilihan
Sampai banyak orang waras memilih untuk gila, gila jabatan

Aku cinta padamu Indonesia
Sejak 1945 sampai 2014
Salamat Ulang Tahun Negeriku Indonesia 


By. Watowuan Tyno

Minggu, 24 Agustus 2014

"MAKASSAR PUNYA CERITA"


Terkejut, kaget, prihatin, miris, heran, dan takjub, itulah yang aku rasakan ketika pertama kali menginjakan kaki di kota yang dijuluki Kota Angin Mamiri (Makassar). Kota yang menurut orang desa adalah sumber penghidupan untuk merubah nasibnya.
            Di kota inilah ribuan kaum urban berdatangan tiap tahunnya mencoba mencari rezeki dan menatap masa depannya. Walaupun ternyata kemudian ada yang menjadi pemenang ataupun pecundang.
            Kota yang juga menurut generasi muda terutama anak remaja adalah barometer mode dan icon gaul anak muda Indonesia, lebih tepatnya kota ini adalah trendsetter pergaulan anak muda Indonesia.
Anda akan terkesan tidak gaul atau kolot apabila nilai-nilai Makassar tak melekat dalam pergaulan sehari-hari, yang dalam bahasa mas Tukul Arwana (empat mata) disebut NDESO atau KATROK.
Makassar, kota yang menurut pandangan pribadiku adalah kota terunik. Keunikannya bukan pada tata ruang kota atau struktur kotanya, namun pada kehidupan masyarakatnya yang seakan tanpa sadar terbagi dalam sekat-sekat kelas sosial dan primodialsme bagaikan bumi dan langit.
Aku kaget ketika melihat emperan toko-toko dipenuhi anak-anak jalanan yang tengah tertidur pulas, rumah-rumah mungil dari gardus atau sisa-sisa bahan bangunan dan sepanjang jembatan layanyang mengulurkan tangannya meminta-minta rezeki.
Luar biasa kota ini, pemandangan yang cukup menakjubkan buat aku. Bagaimana tidak, ditempat aku pemandangan ini tak pernah terlihat, kalaupun ada, mungkin hanya segelintir orang yang benar-benar tak memiliki sanak saudara. Tidak  salah juga ada pepatah yang bilang “sekejam-kejamnya ibu tiri tak sekejam kota makassar”. Aku mendengar dari penuturan beberapa teman yang sudah mendahuluiku, banyak orang yang akhirnya beralih profesi menjadi pembunuh, pencopet, ataupun preman karena sulitnya mencari rupiah, katanya semua itu dilakukan hanya demi menyambung hidup dan sesuap nasi.
Temank benar, karena saya sendiri sudah merasakan efek dari pepatah diatas, belum lama berada di kota ini saya dipajak oleh para preman ketika aku tengah berbelanja di pasar sentral, memegang teguh pepatah diatas.  
Maklumlah, aku pendatang baru yang belum berpengalaman. Banyak hal tentunya yang bisa kita lukiskan dari kota ini, tak akan habis-habisnya.
Makassar tak pernah mati, dia selalu terjaga sepanjang siang dan malam. Aktifitas yang tak pernah berhenti sepanjang hari, di sini manusianya seperti robot, bekerja dari pagi dan baru pulang sore harinya. Ada juga yang malah baru bekerja ketika senja mulai merona dan kembali ke peraduan dan baru pulang ketika bola api kemerah merahan kembali bertengger di atas cakrawala ujung timur. Luar biasa, etos kerja yang tak ditemui ditempat lain. Di sini uang adalah Raja.
Aku tak mau bicara panjang lebar tentang kota ini, namun ada beberapa hal yang benar-benar diajarkan kota ini kepadaku. Makassarlah yang membuat aku benar-benar mandiri dan dewasa menatap kerasnya kehidupan, Makassarlah yang mengajari aku arti keikhlasan membantu sesama, Makassarlah yang menuntun aku menyelami dalamnya makna kesabaran, Makassarlah yang membuat aku memahami esensi kehidupan, Makassarlah yang membuat aku mengenal Tuhan lebih dekat lagi. Makassarlah yang telah membuat aku untuk pertama kalinya menitikan air mata.
Terakhir, sebelum menutup tulisan ini. Untuk Bapak Sahrul Yasin Limpo Gubernur Sulsel yang terhormat, Wargamu sekarang bertambah pak dengan kehadiranku, maaf yah pak, suda empat tahun aku berada di kota ini  namun belum melapor ke RT dan RW setempat. Kira-kira illegal ndag  pak orang-orang seperti ini? Karena kedatanganku sama seperti orang-orang yang lain, mencari seberkas harapan dan seribu kepastian, ingin mencuri kekayan Makassar berupa ilmu dan juga ingin menaklukan Makassar dengan segala konsekwensinya. 

SATU NAMA SATU CERITA

          Malam semakin larut, kesunyian berbalut dengan kehampaan menemaniku di sudut sepi. Detak jarum jam seakan terdengar begitu keras pada malam menjelang larut. Tak ada bulan dan bintang bintang di langit, hanya seekor laba-laba tua dengan sarangnya yang tampak begitu tebal. “Kenapa kau terus memaksakan kelopak matamu untuk bertahan menantikan bintang yang tak kunjung datang? Bukan hal menarik yang mungkin bisa membuatmu terjaga hingga pagi”. Aku seperti merasa mendengar semua ocehan dan cemoohan mereka, lalu aku seakan berargumen dengan mereka, “apa pedulimu jam dinding? mengapa kau tidak diam saja dan melakukan tugasmu untuk menjalankan jarum waktu agar tetap berputar, dan kau laba-laba tua, kenapa kau terus memandangiku dengan matamu yang banyak itu, kenapa kau tidak mengurus urusanmu sendiri, atau mungkin kau lebih baik mengganti sarangmu yang sudah tampak lusuh?”. Lalu dengan lantang sepertinya laba-laba itu berkata padaku “memangnya kau itu siapa untuk aku perhatikan, jangan salahkan mataku yang lebih dari satu, bukan berarti aku selalu memperhatikanmu, aku punya banyak hal untuk aku lakukan dari sekedar memperhatikan mu, atau lebih baik dari sekedar memikirkan seorang wanita di luar sana yang mungkin tidak sedang memikirkanmu, atau bahkan sedang tertawa senang entah dengan siapa”.
Sindirannya begitu tajam menusukku dan cemoohannya begitu membodohkanku. Lalu dengan nada yang tak mau kalah, aku kembali bersuara pada mereka, “memangnya kalian yang hanya binatang dan benda mati tahu apa tentang hati, tahu apa tentang cinta?”. Ini bukan hal yang mudah”. “Jika kau sadar kalau ini bukan hal yang mudah, kenapa tidak menjadi egois saja dan biarkan cinta itu berakhir di tengah jalan, atau kebingungan di persimpangan”.
“Kalian memang tidak akan pernah tahu, jika saja cinta itu mudah, mungkin romeo juga tak harus mati karena meminum racun”.
Aku seperti merasa apa yang terasa, ketika rasa yang telah lama dikecap kini seakan memudar, seperti hambar.
“Sudahlah! Buat apa kamu merasakan yang sudah pudar dan hambar. Kamu tidak perlu menanti yang belum pasti, mari ikut denganku, kita nikmati malam ini”
“Lalu apa sebenarnya yang ada?, ketika yang dinanti belumlah pasti, yang terasa hanya asa yang tak ter-asah, ternyata mimpi yang tak pernah mampir dan bayang yang tak lagi datang.
Lalu apa yang sebenarnya ada?, yang tersisa hanya kiasan pada kertas-kertas lusuh tak bertuan, yang bercerita pada bayang dan mimpi yang sedang menanti hal yang belum pasti”.
Gelas yang ada di sampingku juga tak mampu menjawab tanyaku. Kemudian ku hembuskan nafas bersamaan dengan asap yang keluar melalui mulut dan hidungku.
“Ada apa denganmu?” Suara yang kembali membuatku berpikir kalau aku mungkin sudah gila. “Aku disini, di atasmu” Ternyata asap yang ku hembuskan tadi berkumpul dan mengepul membentuk subuah tanda tanya. Dengan mengabaikan semua pemikiran tentang aku yang mungkin sudah mulai gila, aku seakan bercerita padanya. “Cinta, kemana dia bawa pergi hatiku?, aku hanya berharap dia tidak terlalu jauh, yang akhirnya membuatnya jenuh, dan kemudian meninggalkan hatiku sendiri, tak tersentuh”.
“Memangnya cintamu ada dimana?
“Aku juga tidak tahu. Aku hanya tahu tentang perbedaan yang akhirnya membuat kami jauh”
“Banyak rasa yang sebenarnya sama jika saja kalian manusia mau sedikit merasa. Dengan tidak hanya melihat warna kulit dan harum buahnya. Sama seperti perbedaan yang kalian miliki, yang jika terlihat, sungguh begitu beragam. Tapi jika saja kalian mau merasa, ternyata banyak rasa yang sama, bahkan ketika kalian sedang menelan perbedaan”
“Itu dia yang membuat aku tidak mengerti. Aku seperti dihadapkan pada sebuah rangkaian puzzle raksasa bermotif hati yang telah tersusun dan kemudian dibongkar, mungkin sudah puluhan kali dilakukan, hingga pada satu saat yang mungkin kesekian ratus kalinya, aku merasa sepertinya ada bagian yang bukan pada tempatnya, atau bisa jadi hilang. Meski tak lelah terus mencari dan mencoba menempatkannya kembali, tapi tetap saja kelihatannya lain, tak seperti yang biasa dilakukan hingga ratusan kali. “Mungkin memang harus seperti itu kawan. Mungkin memang harus ditinggalkan dan biarkan menjadi rangkaian susunan yang tak berujung”.
“Tapi kenapa harus seperti ini?, apa yang salah?, siapa yang harus disalahkan?”
“Tak ada yang salah dan harus disalahkan. Ini sama seperti bunga yang ingin mekar, mengizinkan kumbang dan angin menghisap dan menebar putiknya, untuk menjadi sempurna pada waktunya. Lalu siapa yang nantinya harus disalahkan jika bunga gugur sebelum berkembang?. Apa kumbang yang berlebihan menghisap sarinya?, atau angin yang terlalu jauh menebarnya? coba jawab tanya itu”.
Otakku seperti memberi perintah pada mulutku untuk menjawab tanya itu, tapi sepertinya aku tak mampu.
          Apa benar yang dikatakan jam dinding tadi kepadaku, kenapa aku tidak menjadi egois saja, menjadi angkuh dalam ringkihnya cinta yang sepertinya masih haus akan pelukan dan sanjungan. Apakah aku harus melangkah sombong di antara pengemis-pengemis hati yang lapar akan kasih, sementara aku sedang membohongi diri sendiri bahwa aku masih mencari cinta yang ingin memberi. Ketika aku begitu senang membicarakan tentang egoku, tiba-tiba aku dibentak, sangat menghentak karena ego yang coba memanipulasi naluriku, untuk menjadikan ini sebagai kemenanganku sendiri. Dengan keterpaksaan kebahagiaan yang dengan segala cara coba untuk dipalsukan agar semua terlihat seakan abadi. Ternyata bentakan itu adalah suaraku sendiri, tapi tidak dari mulutku.
          “Hey, ada apa denganmu yang merupakan wujud nyata dari aku? kenapa kau biarkan ego meracuniku, aku hampir sekarat dalam tubuhmu karena ego yang kau biarkan menyerangku. Lebih baik menunggu orang yang kita inginkan ketimbang memilih apa yang ada. Lebih baik menunggu orang yang tepat, karena hidup ini terlampau singkat untuk dilewatkan bersama pilihan yang salah, karena menunggu mempunyai tujuan yang mulia dan misterius. Perlu kau ketahui bahwa bunga tidak mekar dalam waktu semalam, kota Roma tidak dibangun dalam sehari, kehidupan dirajut dalam rahim selama sembilan bulan, cinta yang agung terus bertumbuh selama kehidupan ini. walaupun menunggu membutuhkan banyak hal. Penantian menjanjikan satu hal yang tidak dapat seorangpun bayangkan”.  
            Aku terdiam dan kembali merenung, berharap pada waktu, memohon untuk tidak segera berlalu, dan memutar kembali yang lalu, di saat yang sama aku berkata janji pada bunga untuk tidak membiarkannya gugur sebelum berkembang, dan melarang angin untuk bertiup terlalu kencang agar tak membuat sarinya terbang menghilang, dan sempurna saat berkembang.

"IBUKU INSPIRASIKU"

“Tak perlu menjadi sempurna, hanya untuk sekedar mengejar mimpi dan asa,
jadilah yang terbaik, lalu kejar angan tanpa harus menoleh ke belakang”
*(Watowuan Tyno)*


Ketika kelopak mata terbuka awalnya aku menangis, manusia di ujung mata mulai tersenyum tipis, manusia pertama yang aku lihat kata mereka aku boleh memanggilnya ibu, ia menimang dengan irama senandung malam, begitu seterusnya hingga aku tenggelam dalam hitam, hidup dalam tidurku sepasang mata terus memperhatikan raga mungil, malam itu aku menangis, tangisan yang memecah sunyi di belantara sepi, ia terbangun dengan setengah mata terbuka lalu ia menimang dengan irama senandung malam begitu malam seterusnya.
            Surga di bawah telapak kaki ibu, begitulah yang kita percayai selama ini, sosok perempuan yang tangguh, sangat menginspirasi hidupku. Sosok yang tegar terkadang cerewet tapi itulah ibu orang yang kritis, dan sangat-sangat sayang terhadap kami lima bersaudara.
Bercerita tentang siapakah ibuku, ada yang unik dan menurutku sangat heroik, mengajarkan kami tentang bagaimana mempertahankan hidup dalam kehidupan yang pelik dan menyakitkan. Ibuku terlahir juga dari seorang ibu yang menurutku bukanlah sosok orang biasa, yang selalu mengiringi tidur kami dengan dongeng klasik di waktu silam.
Bakat untuk jualan ibuku sudah ditunjukkannya sejak berumur belia, tapisan beras yang dicampur dengan jagung yang dititihnya menjadi santapan siang setelah pulang sekolah di masa itu. Ibuku saat itu hanya bisa mengenyam pendidikan di bangku sekolah dasar, karena kelurganya saat itu hidup dalam kesederhanaan dan keterbatasan. Sejak ibu menikah banyak hal yang berubah karena ayahku saat itu adalah seorang pekerja keras. Selama ayahku masi sehat, keluarga kami sangat rukun dan hidup berkecukupan.
            Suatu peristiwa yang telah melanda keluargaku pada saat aku masi duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga.  
Hal yang tidak bisa terlupakan dalam perjalanan sejarah hidupku. Ayahku mengalami gangguan jasmani atau jatuh sakit membuat kebahagian dan tawa ria dalam keluargaku hilang, lenyap dan sirna seketika sampai saat ini. Ayahku tak lagi bekerja, dia hanya bisa duduk termangu memikirkan nasip keluarganya.
Bertolak dari peristiwa itu semua keperluan dan kebutuhan keluarga menjadi tanggung jawab ibu layaknya berperan sebagai kepala keluarga.
Walaupun dengan beban yang berat, ibuku tak pantang menyerah, walau sering kali menangis dalam gelap, berkeluh kesah dalam senyap, menanggung peluh dan penat seorang diri.
Berbagai usaha dia lakukan guna menghidupi keluarganya. Berbagai banyak rintangan selalu menyelimuti keluarga kami seakan menjadi sahabat sejati.
Berbagai macam problematika terus menggerogoti keluargaku, namun ibuku tak perna menyerah sedikitpun dengan keadaan, karna baginya hidup adalah sebuah pengorbanan maka inilah pengrbanannya untuk hidup demi anak – anaknya.
Mungkin telah habis dan kering keringat dan air matanya, hingga kulit yang dulu indah kini bagaikan gumpalan benang kusut, wajah yang dulu mulus kini dipenuhi goresan-goresan halus bagaikan lukisan seorang sastrawan, yang tak ternilai harganya. Bagiku Ibuku tak seperti ibu yang lain.
Tanpa disadari aku dan kakakku sebenar lagi menyelesaikan perkulihan di kota Makassar. Inilah bukti bahwa ibuku tidak seperti ibu yang lain. Bagiku tidak semua ibu yang hidup dalam keterbatasan rela membiayai kedua anaknya sampai pada perguruan tinggi, inilah hal yang luar biasa bagiku.
Sampai detik ini belum sedikitpun wujut terimakasi yang diberikan kepadanya. Mungkin sampai kapanpun semuanya tak mampu dibalas dengan sesuatu.
Ibu bagaikan malaikat tak berjubah, mendidik kami dengan kasih yang tulus bagaikan bulu domba dan suci bagaikan merpati.
Masih terlintas dalam ingatanku akan pesannya sebelum pergi berpetualang mencari seberkas harapan dan selembar kertas penuh makna di kota ini “Tak perlu menjadi sempurna, hanya untuk sekedar mengejar mimpi dan asa, jadilah yang terbaik, lalu kejar angan tanpa harus menoleh ke belakang”. Setiap derap langkaku entah kemanapun selalu ada hadirnya dalam ingatanku. Ibu adalah inspirasiku. 

SMSKU UNTUK TUHAN


Ada beban yang sering memberatkan punggungku ketika malam merayap naik menuju larut. Tepatnya dikamar sederhana ini, di salah satu sudutnya aku sering kali mengalienasikan diriku sementara dari virus-virus perusak moral diluar sana. Aku sengaja memilih menyendiri dan membiarkan imajinasiku menggeliat menembus batas dimensi ruang. Aku hanya ingin menyapa Tuhan di penghujung malam lewat SMS-SMS cinta yang sering kali kukirimkan untukNya sebagaimana kebiasaanku ketika beban demi beban semakin berat untuk ku pikul. Aku sadar, aku suda cukup lama tertidur pulas dan sibuk dengan mimpi-mimpi tak bermutu yang ku ciptakan sendiri lewat imajinasi dan hayalan-hayalan yang terlampau jauh mengitari alam pengembara. Setumpuk mimpi yang akhirnya menjebakku dalam lingkaran setan dan kebodohan, hingga aku tak mampu membedakan baik dan buruk ataupun salah dan benar. Aku seperti terlena dengan realita sosial yang ada di sekitarku. Ya, aku terlalu malas untuk bangun dari tidur panjang ini, bahkan kubiarkan arus dan gelombang realitas di sampingku mengalir deras tanpa sanggup aku hindari. Aku kalah, sementara yang lain melaju tanpa bisa dibendung, aku hanya diam ditempat ini, sibuk dengan kehidupan yang tak begitu bermutu, bahkan tak beranjak sedikitpun dari titik nol, titik kebodohan yang membelenggu kinerja otakku untuk berdinamika.
            Sejujurnya, Aku pernah mencoba bangkit. Bahkan aku sudah beberapa kali mengirim SMS untuk Tuhan agar mengeluarkanku dari penjara kebodohan ini. Tapi yah begitulah, Tuhan itu Maha Ghaib, Aku sulit menembus eksistensiNya, aku hanya bisa berprasangka kepadaNya, mungkin Dia sedang menunggu reaksiku dengan SMS yang tak kunjung dibalas itu atau mungkin saja Dia mau mengujiku seberapa besarkah kesabaranku ditengah penantian yang tak pasti ini, atau barangkali saja SMS-SMS ku tak sampai padaNya, salah nomorkah? Ah, tak mungkin, bukankah DIA dekat dengan hambaNya, bahkan lebih dekat dari urat nadi hambaNya. Suatu malam, setelah sekian lama menunggu SMS balasan dari Tuhan. Aku mencoba mengirim satu SMS lagi kepadaNya, satu SMS yang isinya tak jauh berbeda dengan SMS-SMS sebelumnya. Akupun selalu merayuNya setiap kali mengirim SMS itu dengan mimik muka yang pasrah dan dengan kata-kata yang cukup mengharukan, bahkan sesekali meneteskan air mata. Aku hanya berharap saat kuterbangun esok pagi nanti sudah tertulis di layar HP “one new messages from God”. Namu  SMS itu tak kunjung di balas. Ah sudahlah, mungkin belum saatnya SMS ku direply oleh Tuhan. Biarkan saja, aku akan terus menunggu, karena aku yakin suatu saat nanti, entah itu kapan, Tuhan pasti dengan senang hati membalas ku yang tak terhitung jumlahnya itu dan mengejutkanku di pagi hari "one new messages from God". Semoga saja.

"JERIT-JERIT EGOKU"

“Tak ada kata lusa untuk hari kemarin dan tak ada kata panjang untuk hari esok.  
Jika hari esok sudah tidak bisa merubah apa yang berlaku hari ini, tetapi hari ini
masih bisa merubah apa yang akan terjadi pada hari esok”
*(Watowuan Tyno)*


Aku dan hidupku tak saja mengurung diri dalam kelamnya ruang sempit berdinding seng, aku selalu berdialog dengan dunia luar lewat alam imajinasi. Aku mencari dan memberi makna bagi perjalanan hidupku di dunia. Aku belajar gelisah, aku belajar cemas, dan akupun belajar tentang kebahagiaan. Aku bereksistensi dalam diriku dan dunia luar, aku selalu terlibat dengan kedua-duanya, karena aku adalah mahkluk yang sadar akan eksistensinya. Aku adalah subjek yang mengada, aku bergulat dengan kelemahan jiwaku dan kerasnya dunia di luar diriku. Aku merengkuh makna dari dalam dunia. Mengapa? karena dunia buat aku adalah domain makna, bahkan dia adalah medan makna itu sendiri. Tapi sesungguhnya aku tak bisa mengkonstruksi makna itu, aku hanya bisa mepresepsi makna dan menghadirkannya dalam tutur kata. Aku selalu ingin mengungkapkan dan mengkomunakasikannya pada setiap masa.
Aku melihat dunia sebagai totalitas referensial, aku belajar darinya dan berhasil menyingkap tabir penghalang eksistensi. Aku melihat, aku merasa, dan aku mendengar jerit - jerit egoku terlempar di tengah kumpulan benda dan mahkluk lainnya di sekitar diriku.
Akhirnya aku tahu bahwa hidup adalah sebuah perjuangan untuk menemukan keberadaanku. Aku jadi tahu dan memahami bahwa primodialisme manusia adalah sebuah kemungkinan yang harus aku hadapi dengan realita hidup. Aku memproyeksikan ego dan menerawang nasibku kelak, dimana aku harus membuka diri dan membebaskannya menantang semua kemungkinan yang ada pada dunia. Aku gigih saat menyingkap selubung dunia lewat hatiku yang terbuka untuk dunia di luarku dan lewat perasaanku yang paling primodial dan keterlemparanku di tengah dinamika evolusi kosmos. Aku memang liar, dan benar-benar liar memahami eksistensiku. itulah jerit-jerit egoku yang membuncah dalam dadaku selama ini. Aku ingin menjadi seorang manusia sejati.

"SURAT UNTUK MU"

“Kupu kupu pelangi bertebaran, turun dari lembah sejuk ke pantai hangat,
  menyapa sahabat hati di seberang sana, dengan senyuman  dan lesung pipi memekar.
Kupu kupu menari bebas  memberikan pesan rindu dengan
kibaran sayapnya   membentuk lukisan kata kata
sebuah pesan untukmu yang jauh disana”
*(Watowuan tyno)*

            Di malam yang pekat ini ku bingkaikan semua kisahku diatas langit tak ada bintang dan rembulan, gelap tanpa ada cahaya. Tahukah kamu itu adalah kisah terindahku, kisah paling istimewa dalam hidupku, aku mengukirnya disana dan berharap suatu saat bintang kan menyinarinya dan memperlihatkannya padamu bila kamu lupa. Aku juga berharap sang rembulan membagi cahyanya agar kisah itu tak lagi gelap, amun indah penuh cahaya, penuh warna sehingga kau dapat melihatnya dari mana saja arahnya. Bidadariku, tahukah kau, malam ini aku berharap sekali bisa mendengar suaramu, aku merindukanmu walaupun hanya sepatah kata. cukup bagiku. Ah, tapi sepertinya sulit untukku mewujudkan inginku, entah apa yg kau fikirkan sekarang, sampai-sampai tak mau aku hubungi.  Tapi tak apa, mungkin kau sedang ingin sendiri atau sedang ingin bercanda dengan keluargamu. Apapun itu asalkan kau bisa bahagia, tetap tersenyum dan tertawa ria. Aku akan mengerti walaupun hati merasa gunda menahan rasa di kala kensunyian mulai berbalut dengan kehampaan. Aku hanya ingin mengatakan, apapun sikapmu sekarang, aku tetap menjaga rasaku agar tak ada virus yang mau menginfeksikan perasaanku hingga berakhirnya waktu, hingga Tuhan memisahkan rasaku dan rasamu. Tak akan pernah bisa mencoba untuk menjauhi kenyataan ini, kenyataan bahwa dirimu sangat berarti buatku, kenyataan bahwa aku rapuh tanpamu, kenyataan bahwa kamu telah mengisi hati dan jiwaku, tak pernah aku berhenti memikirkanmu, membayangkanmu dan tak pernah berhenti untuk tidak peduli padamu. Aku nyaman bersamamu. Sulit rasanya untuk mengubah haluan hatiku karena arah kompas menunjuk pada satu titik, perahu hatiku telah tertuju pada satu pelabuhan, pelabuhan yang dinantikan, pelabuhan yang akan menghadirkan kehidupan, pelabuhan dimana kebahagiaan menjadi sumber utama, pelabuhan yang memiliki dermaga penuh kesetiaan pelabuhan, yang menjadi pemberhentian terakhir dan bahtera perjalanan cintaku, pelabuhan itu adalah pelabuhan hatimu. 

RASA YANG MENGGELORA

“Ini hanya tentang rasa yang harus disampaikan meski lewat puisi
kuharap kau bisa memahaminya, tak banyak keinginan hati ini,
 aku menyayangimu dalam diamku, aku merindukanmu
 dalam diamku, aku mencintaimu dalam diamku,
 aku milikimu dalam diamku”
*(Watowuan Tyno)*

Ia demikian deras mengalir, beriak-riak menyusuri alur dalam ruang-ruang hati, kadang bergemuruh, arusnya deras meruah, meliuk-liuk mesra, kadang juga arusnya  pontang-panting.
            Aku menyuruh langit  untuk menyaksikanya, awan serupa menentramkan dengan  penyuguhanya, dihinggapi serabut yang mempesonakan jiwa, seperti hati ini direngkuh, ia menyadarkan  aku yang sekarang berada dalam kecepuk rindu, ia menyusul menggubah tatanan dan melahirkan warna-warni keangungan yang lain yang terus mengisi gairah semangatku.
            Beginilah syairku, yang terus menerus menumbuhkan sayap, laksana aku bertandang untuk menyiasati setiap gerik-gerik aneh yang menyemburat asing di hati.
Seperti desir angin menyisir dengan lembut tak terperi, membelai lembut sukmaku  dengan semayam yang memabukan, kadang bergelut dengan ragu dan segumpal perasaan. ‘’Kau kah yang selama ini ku cari?”.
            Beragam anyaman perasaaan yang terus mengikat raguku menjadi kencang. Semua di sebabkan karena bekalku masih belum cukup. Demikian jika hati dijemput oleh kesucian yang tertambat, tak pernah bisa lepas, ia terus  mengalir deras, aku sadar  segalanya memang benar-benar terukur dan jelas, tapi aku tak bisa menimbang - nimbang logikaku dan aku pun setengah takut dengan apa yang menerpaku, merasa ragu dengan penantiannya panjang. Aku merasa aneh dengan warna-warni perasaan ini. Semua benar-benar berdiri dibawah pilar keyakinanku, bersemayam di dalam tatanan altar jiwa yang  suci. Kuncup itu seperti merekah indah, memberi semacam aroma yang membuat jiwa-jiwa lesu bangkit untuk sebuah kesungguhan, kesungguhan untuk memilikinya dalam sebuah harapan.
            Pertemuan itu menjadi awal yang indah namun sekali lagi aku  tak berniat tergesa-gesa mendahului waktu. Oleh karena cinta itu Suci, Allah lebih berhak atas cinta ini untuknya. Aku lebih memilih memantaskan diri sambil terus belajar. Semua akan menjadi penghias dalam pahatan kata-kata yang senantiasa aku rasukan dalam tulisan.
            Teruntuk kau bidadari hati, bayangmu menggenang dalam telaga berfikirku. Doaku akan senantiasa aku kumandangkan ke langit, kepada Sang Pemilik cinta agar mempertemukan kita nanti di ujung waktu.

BELAJAR BERLARI MESKI TERTATIH

“Bukannya kau sudah bulat dengan pilihan yang akan dibuat,
 ataukah kau masih bergelut antara berhenti atau berlanjut.
 setiap perubahan ada kebimbangan tetapi
kau tetap harus memilih berhenti atau diteruskan”
*(Watowuan Tyno)*

            Aku berdiri sendirian kemudian duduk di bawah teduh pohon mangga, denyut kehidupan tampak begitu lenggang, angin sepoi-sepoi menghantarkan kedamaian hingga sampai ke ulu hati. Aku pun damai karenanya. Burung pipit bercericit penuh riang di atas rindang dedaunan pohon mangga di sekitar kos, serupa merayakan sebuah pesta kemenangan, sesekali mata ini asyik melihat burung-burung yang bertingkah menggoda lawan jenisnya, awan putih bergumpal di langit siang, serupa kapas putih begitu cerah bahkan menyilaukan mata. Siang ini agak begitu teduh. Mataku mengerjap-ngerjap membaca larik demi larik pahatan kata-kata yang ditulis oleh seorang penyair. Aku terkesima bergumam dalam hati tentang sebuah pengakuan, lebih tepatnya ingin memuji, Apa memuji? Dikira gila, bebicara pada alam yang lenggang di siang yang teduh di bawah pohon mangga, siapa yang akan mendengarkan aku?. Aku ingin memujinya meski dalam keadaan sepi. Tulisan yang luar biasa dari penyair ulung ini. Perhatianku terus tersedot untuk membaca dan terus membaca setiap rembasan isi hatinya yang menjelma menjadi tulisan, tulisan itu serupa berbicara dengan aku, aku semakin terkesima, tulisan itu seakan bertutur dengan lembut, tak pernah sedikitpun bertingkah menggurui. Wajar jika tulisan itu begitu membekaskan sebuah kesan yang dalam teramat sangat di dalam hati.
Perhatianku tergangu, mendengar suara gaduh dua pejantan burung pipit yang sedang bertarung memperebutkan sang betina jelita yang mereka kagumi, sungguh semacam manusia saja, begitulah tingkah mereka sesama makhluk Tuhan yang di bekali perasaan untuk terhipnotis pada lawan jenisnya. Aku tak mau menggangu mereka, takut mengganggu urusan dua pejantan burung pipit itu. Kemudian aku putuskan berpindah ke pohon mangga sebelahnya untuk melanjutkan membaca tulisan itu.
Aku sungguh sangat mengagumi karya tulisan tersebut, berkiprah dari hasil berfikirnya yang menggenang ide dan gagasannya, merambah kemana - mana, namun dia tau bagaimana membuatnya tidak sia-sia terbuang, dia tahu bagaimana membuatnya lebih berarti maka lewat tumpukan kertas dia memenjarakan isi fikirannya, isi suara hatinya kedalam penjara kata-kata yang ia tulis dan akan beranak-pinak melahirkan sebuah manfaat, khasanah dan itu yang aku kagumi dari seorang penyair ini. Tulisannya terasa seperti ada magnet yang selalu menarik tanganku untuk segera menari di atas papan keyboard. Dari sinilah aku sepertinya tersadar jika setiap larik-larik tulisan diam mampu berbicara untuk menghantarkan pesan lewat huruf-huruf yang berderet membentuk kata, aku percaya bahwa kata-kata itu terangkai dalam barisan kalimat yang sama-sama kita kagumi kandungan maknanya, karena kalimat itu didasarkan hati yang ikhlas aku yakin akan membentuk kalimat yang berbunyi dan mampu didengar oleh telinga hati. Walaupun tak seharusnya menjadi seperti orang lain, kita tak seharusnya menjadi sama dengan orang lain , karena kita tak akan pernah bisa, diri kita adalah diri kita, kita bukanlah mereka, aku dan kau berbeda satu sama lain. Aku dengan kelebihan dan kekurangan yang melekat dalam diriku dan kau dengan kelebihan dan kekurangan yang melekat dalam dirimu. Selamanya tak akan pernah bisa sama. 
            Di Atas pohon mangga yang teramat rindang ini aku melihat lagi salah satu burung pejantan memenangkan pertarungan dalam memperebutkan sang betina jelita yang dikagumi. Mereka berasyik melakukan ritual sakral untuk melanjutkan generasi kehidupanya. Dengan pertunjukan yang hebo ada makna positif yang dapat dipetik, semoga aku bisa menjadi salah satu pemenang dalam pergulatan hidup ini dan terus belajar menuangkan segalah apa yang dirasakan oleh jiwa dan naluriku, walaupun hanyalah tulisan lusu dan ceracau.

KAU VS TULISANKU

“Daun masih meneteskan butir-butir air saat grimis hujan mau beranjak meninggalkan tanah yang basah. Gemersik ranting mengiringi lagu senja.  Ku lukis wajahnya
 dalam imaji, ku senandungkan tembang asmara, ku bingkakan dengan
ukiran cinta terindah, ku persembahkan
 untuknya yang jauh di sana”
* (Watowuan Tyno)*


Aku tak pernah mengenalmu sebelumnya, siapa kau, dari mana asalmu, dan seperti apa wajahmu. Ya, aku tak pernah mengenalmu sebelumnya, tetapi di suatu kesempatan yang tak pernah direncanakan, di suatu senja, kita dipertemukan di rumah kontrakan yang sudah cukup reot, lalu pergi hanya menitipkan senyuman dan nomor ponsel (Nomor ekor 603).
Rasa yang terkuak lewat ujung jemari yang tengah asyik memencet tombol-tombol maya dipenghujung waktu.
Itulah awal dari sebuah kisah, kisah yang perlahan-lahan mengalami metamorfosis dari sepenggal cerita kecil menjadi setumpuk cerita-cerita luar biasa dalam rentang waktu yang cukup lamah. Semua cerita terangkai lewat kisah-kisah yang tercipta berhari-hari, banyak dinamika dalam romantika, kadang bahagia, kadang menyakitkan.
Perjalan yang amat luar biasa dasyatnya, menghadirkan kisah yang terbingkai rapi dalam skenario sederhana.  
Aku masih ingat, ketika suaramu terdengar samar di ujung telepon. Itulah permulaan, awal dari sebuah rasa yang terbentuk di hati kita dan tentang keindahan yang selama ini hanya bisa kunikmati secara imajiner. Cinta yang kemudian menjadi guru besarku sehingga bisa merangkaikan larik-larik kalimat penuh makna, tentang sepenggal kisah usang yang perlu didokumentasikan.
            Aku masih ingat ramalan tentang diriku dalam sebuah buku yang sempat aku baca saat kita berada dalam toko buku di sudut kota angin mamiri. Dalam buku itu bertuliskan  makna tanggal dan bulan lahirku. Orang yang di dalam dirinya memiliki jiwa estetika. Katanya jika kau mendapatkan seorang gadis yang pas di hati maka semuanya akan terjadi. Awalnya aku merasa kebingungan dan terkeco dengan kata “jika”. Hadir sepenggal pertanyaan dalam diriku tentang sampai kapankah semua itu terjadi. Namun perlahan lahan seiring dengan pergantian kalender masa semuanya seakan terjawab. Sejak denganmu aku seakan dengan leluasanya membingkaikan rasa dalam kata merangkaikan kata dalam balutan puisi walau pun kelihatannya hanyalah tulisan ceracau. Itulah arti hadirmu untuk tulisanku. 
Sore inipun aku menantimu sambil menuliskan kisah tentang Kau Vs Tulisanku, sambil menikmati sepenggal lagu Lokal kesukaan kita dari Adrian Turodoken yang dilantunkan Ronal Tuanaen Vs Vivi Nor “Serah Soron”. Aku menunggumu di tempat yang sama, dan gerimis di sore ini pun tak mau berhenti, selalu menggodaku untuk berlari menembus jutaan rintik-rintiknya.      Cintaku kepadamu berjalan seriring waktu, seiring rintik gerimis di sore hari, seiring tenggelamnya sang surya diufuk barat, seiring merekahnya cahaya venus di horison langit, seiring kesepian yang singgah di pojok hati, dan seiring rasa yang perlahan menemukan ruang untuk berteduh.
Ya, cintaku padamu berjalan seiring terkuaknya selubung rasa yang selama ini begitu misterius.