Malam semakin larut, kesunyian
berbalut dengan kehampaan menemaniku di sudut sepi. Detak jarum jam seakan
terdengar begitu keras pada malam menjelang larut. Tak ada bulan dan bintang bintang
di langit, hanya seekor laba-laba tua dengan sarangnya yang tampak begitu
tebal. “Kenapa kau terus memaksakan kelopak matamu untuk bertahan menantikan
bintang yang tak kunjung datang? Bukan hal menarik yang mungkin bisa membuatmu
terjaga hingga pagi”. Aku seperti merasa mendengar semua ocehan dan cemoohan
mereka, lalu aku seakan berargumen dengan mereka, “apa pedulimu jam dinding? mengapa
kau tidak diam saja dan melakukan tugasmu untuk menjalankan jarum waktu agar
tetap berputar, dan kau laba-laba tua, kenapa kau terus memandangiku dengan
matamu yang banyak itu, kenapa kau tidak mengurus urusanmu sendiri, atau
mungkin kau lebih baik mengganti sarangmu yang sudah tampak lusuh?”. Lalu
dengan lantang sepertinya laba-laba itu berkata padaku “memangnya kau itu siapa
untuk aku perhatikan, jangan salahkan mataku yang lebih dari satu, bukan
berarti aku selalu memperhatikanmu, aku punya banyak hal untuk aku lakukan dari
sekedar memperhatikan mu, atau lebih baik dari sekedar memikirkan seorang
wanita di luar sana yang mungkin tidak sedang memikirkanmu, atau bahkan sedang
tertawa senang entah dengan siapa”.
Sindirannya
begitu tajam menusukku dan cemoohannya begitu membodohkanku. Lalu dengan nada
yang tak mau kalah, aku kembali bersuara pada mereka, “memangnya kalian yang
hanya binatang dan benda mati tahu apa tentang hati, tahu apa tentang cinta?”.
Ini bukan hal yang mudah”. “Jika kau sadar kalau ini bukan hal yang mudah,
kenapa tidak menjadi egois saja dan biarkan cinta itu berakhir di tengah jalan,
atau kebingungan di persimpangan”.
“Kalian
memang tidak akan pernah tahu, jika saja cinta itu mudah, mungkin romeo juga
tak harus mati karena meminum racun”.
Aku
seperti merasa apa yang terasa, ketika rasa yang telah lama dikecap kini seakan
memudar, seperti hambar.
“Sudahlah!
Buat apa kamu merasakan yang sudah pudar dan hambar. Kamu tidak perlu menanti
yang belum pasti, mari ikut denganku, kita nikmati malam ini”
“Lalu
apa sebenarnya yang ada?, ketika yang dinanti belumlah pasti, yang terasa hanya
asa yang tak ter-asah, ternyata mimpi yang tak pernah mampir dan bayang yang
tak lagi datang.
Lalu apa yang sebenarnya ada?, yang tersisa hanya kiasan pada kertas-kertas
lusuh tak bertuan, yang bercerita pada bayang dan mimpi yang sedang menanti hal
yang belum pasti”.
Gelas
yang ada di sampingku juga tak mampu menjawab tanyaku. Kemudian ku hembuskan
nafas bersamaan dengan asap yang keluar melalui mulut dan hidungku.
“Ada
apa denganmu?” Suara yang kembali membuatku berpikir kalau aku mungkin sudah
gila. “Aku disini, di atasmu” Ternyata asap yang ku hembuskan tadi berkumpul
dan mengepul membentuk subuah tanda tanya. Dengan mengabaikan semua pemikiran
tentang aku yang mungkin sudah mulai gila, aku seakan bercerita padanya. “Cinta,
kemana dia bawa pergi hatiku?, aku hanya berharap dia tidak terlalu jauh, yang
akhirnya membuatnya jenuh, dan kemudian meninggalkan hatiku sendiri, tak
tersentuh”.
“Memangnya
cintamu ada dimana?
“Aku
juga tidak tahu. Aku hanya tahu tentang perbedaan yang akhirnya membuat kami
jauh”
“Banyak
rasa yang sebenarnya sama jika saja kalian manusia mau sedikit merasa. Dengan
tidak hanya melihat warna kulit dan harum buahnya. Sama seperti perbedaan yang
kalian miliki, yang jika terlihat, sungguh begitu beragam. Tapi jika saja
kalian mau merasa, ternyata banyak rasa yang sama, bahkan ketika kalian sedang
menelan perbedaan”
“Itu
dia yang membuat aku tidak mengerti. Aku seperti dihadapkan pada sebuah
rangkaian puzzle raksasa bermotif hati yang telah tersusun dan kemudian
dibongkar, mungkin sudah puluhan kali dilakukan, hingga pada satu saat yang
mungkin kesekian ratus kalinya, aku merasa sepertinya ada bagian yang bukan
pada tempatnya, atau bisa jadi hilang. Meski tak lelah terus mencari dan
mencoba menempatkannya kembali, tapi tetap saja kelihatannya lain, tak seperti yang
biasa dilakukan hingga ratusan kali. “Mungkin memang harus seperti itu kawan.
Mungkin memang harus ditinggalkan dan biarkan menjadi rangkaian susunan yang
tak berujung”.
“Tapi
kenapa harus seperti ini?, apa yang salah?, siapa yang harus disalahkan?”
“Tak
ada yang salah dan harus disalahkan. Ini sama seperti bunga yang ingin mekar,
mengizinkan kumbang dan angin menghisap dan menebar putiknya, untuk menjadi
sempurna pada waktunya. Lalu siapa yang nantinya harus disalahkan jika bunga gugur
sebelum berkembang?. Apa kumbang yang berlebihan menghisap sarinya?, atau angin
yang terlalu jauh menebarnya? coba jawab tanya itu”.
Otakku
seperti memberi perintah pada mulutku untuk menjawab tanya itu, tapi sepertinya
aku tak mampu.
Apa benar yang dikatakan jam dinding
tadi kepadaku, kenapa aku tidak menjadi egois saja, menjadi angkuh dalam
ringkihnya cinta yang sepertinya masih haus akan pelukan dan sanjungan. Apakah
aku harus melangkah sombong di antara pengemis-pengemis hati yang lapar akan
kasih, sementara aku sedang membohongi diri sendiri bahwa aku masih mencari
cinta yang ingin memberi. Ketika aku begitu senang membicarakan tentang egoku,
tiba-tiba aku dibentak, sangat menghentak karena ego yang coba memanipulasi naluriku,
untuk menjadikan ini sebagai kemenanganku sendiri. Dengan keterpaksaan
kebahagiaan yang dengan segala cara coba untuk dipalsukan agar semua terlihat
seakan abadi. Ternyata bentakan itu adalah suaraku sendiri, tapi tidak dari
mulutku.
“Hey, ada apa denganmu yang merupakan
wujud nyata dari aku? kenapa kau biarkan ego meracuniku, aku hampir sekarat
dalam tubuhmu karena ego yang kau biarkan menyerangku. Lebih
baik menunggu orang yang kita inginkan ketimbang memilih apa yang ada. Lebih
baik menunggu orang yang tepat, karena hidup ini terlampau singkat untuk
dilewatkan bersama pilihan yang salah, karena menunggu mempunyai tujuan yang
mulia dan misterius. Perlu kau ketahui bahwa bunga tidak mekar dalam waktu
semalam, kota Roma tidak dibangun dalam sehari, kehidupan dirajut dalam rahim
selama sembilan bulan, cinta yang agung terus bertumbuh selama kehidupan ini. walaupun
menunggu membutuhkan banyak hal. Penantian menjanjikan satu hal yang tidak
dapat seorangpun bayangkan”.
Aku terdiam dan kembali merenung, berharap
pada waktu, memohon untuk tidak segera berlalu, dan memutar kembali yang lalu,
di saat yang sama aku berkata janji pada bunga untuk tidak membiarkannya gugur
sebelum berkembang, dan melarang angin untuk bertiup terlalu kencang agar tak
membuat sarinya terbang menghilang, dan sempurna saat berkembang.