Minggu, 24 Agustus 2014

KAU VS TULISANKU

“Daun masih meneteskan butir-butir air saat grimis hujan mau beranjak meninggalkan tanah yang basah. Gemersik ranting mengiringi lagu senja.  Ku lukis wajahnya
 dalam imaji, ku senandungkan tembang asmara, ku bingkakan dengan
ukiran cinta terindah, ku persembahkan
 untuknya yang jauh di sana”
* (Watowuan Tyno)*


Aku tak pernah mengenalmu sebelumnya, siapa kau, dari mana asalmu, dan seperti apa wajahmu. Ya, aku tak pernah mengenalmu sebelumnya, tetapi di suatu kesempatan yang tak pernah direncanakan, di suatu senja, kita dipertemukan di rumah kontrakan yang sudah cukup reot, lalu pergi hanya menitipkan senyuman dan nomor ponsel (Nomor ekor 603).
Rasa yang terkuak lewat ujung jemari yang tengah asyik memencet tombol-tombol maya dipenghujung waktu.
Itulah awal dari sebuah kisah, kisah yang perlahan-lahan mengalami metamorfosis dari sepenggal cerita kecil menjadi setumpuk cerita-cerita luar biasa dalam rentang waktu yang cukup lamah. Semua cerita terangkai lewat kisah-kisah yang tercipta berhari-hari, banyak dinamika dalam romantika, kadang bahagia, kadang menyakitkan.
Perjalan yang amat luar biasa dasyatnya, menghadirkan kisah yang terbingkai rapi dalam skenario sederhana.  
Aku masih ingat, ketika suaramu terdengar samar di ujung telepon. Itulah permulaan, awal dari sebuah rasa yang terbentuk di hati kita dan tentang keindahan yang selama ini hanya bisa kunikmati secara imajiner. Cinta yang kemudian menjadi guru besarku sehingga bisa merangkaikan larik-larik kalimat penuh makna, tentang sepenggal kisah usang yang perlu didokumentasikan.
            Aku masih ingat ramalan tentang diriku dalam sebuah buku yang sempat aku baca saat kita berada dalam toko buku di sudut kota angin mamiri. Dalam buku itu bertuliskan  makna tanggal dan bulan lahirku. Orang yang di dalam dirinya memiliki jiwa estetika. Katanya jika kau mendapatkan seorang gadis yang pas di hati maka semuanya akan terjadi. Awalnya aku merasa kebingungan dan terkeco dengan kata “jika”. Hadir sepenggal pertanyaan dalam diriku tentang sampai kapankah semua itu terjadi. Namun perlahan lahan seiring dengan pergantian kalender masa semuanya seakan terjawab. Sejak denganmu aku seakan dengan leluasanya membingkaikan rasa dalam kata merangkaikan kata dalam balutan puisi walau pun kelihatannya hanyalah tulisan ceracau. Itulah arti hadirmu untuk tulisanku. 
Sore inipun aku menantimu sambil menuliskan kisah tentang Kau Vs Tulisanku, sambil menikmati sepenggal lagu Lokal kesukaan kita dari Adrian Turodoken yang dilantunkan Ronal Tuanaen Vs Vivi Nor “Serah Soron”. Aku menunggumu di tempat yang sama, dan gerimis di sore ini pun tak mau berhenti, selalu menggodaku untuk berlari menembus jutaan rintik-rintiknya.      Cintaku kepadamu berjalan seriring waktu, seiring rintik gerimis di sore hari, seiring tenggelamnya sang surya diufuk barat, seiring merekahnya cahaya venus di horison langit, seiring kesepian yang singgah di pojok hati, dan seiring rasa yang perlahan menemukan ruang untuk berteduh.
Ya, cintaku padamu berjalan seiring terkuaknya selubung rasa yang selama ini begitu misterius.

Tidak ada komentar: