“Daun
masih meneteskan butir-butir air saat grimis hujan mau beranjak meninggalkan tanah
yang basah. Gemersik ranting mengiringi lagu senja. Ku lukis wajahnya
dalam imaji, ku senandungkan tembang asmara,
ku bingkakan dengan
ukiran
cinta terindah, ku persembahkan
untuknya yang jauh di sana”
*
(Watowuan Tyno)*
Aku
tak pernah mengenalmu sebelumnya, siapa kau, dari mana asalmu, dan seperti apa
wajahmu. Ya, aku tak pernah mengenalmu sebelumnya, tetapi di suatu kesempatan
yang tak pernah direncanakan, di suatu senja, kita dipertemukan di rumah
kontrakan yang sudah cukup reot, lalu pergi hanya menitipkan senyuman dan nomor
ponsel (Nomor ekor 603).
Rasa
yang terkuak lewat ujung jemari yang tengah asyik memencet tombol-tombol maya
dipenghujung waktu.
Itulah
awal dari sebuah kisah, kisah yang perlahan-lahan mengalami metamorfosis dari
sepenggal cerita kecil menjadi setumpuk cerita-cerita luar biasa dalam rentang
waktu yang cukup lamah. Semua cerita terangkai lewat kisah-kisah yang tercipta
berhari-hari, banyak dinamika dalam romantika, kadang bahagia, kadang
menyakitkan.
Perjalan
yang amat luar biasa dasyatnya, menghadirkan kisah yang terbingkai rapi dalam
skenario sederhana.
Aku
masih ingat, ketika suaramu terdengar samar di ujung telepon. Itulah permulaan,
awal dari sebuah rasa yang terbentuk di hati kita dan tentang keindahan yang
selama ini hanya bisa kunikmati secara imajiner. Cinta yang kemudian menjadi
guru besarku sehingga bisa merangkaikan larik-larik kalimat penuh makna,
tentang sepenggal kisah usang yang perlu didokumentasikan.
Aku masih ingat ramalan tentang
diriku dalam sebuah buku yang sempat aku baca saat kita berada dalam toko buku
di sudut kota angin mamiri. Dalam buku itu bertuliskan makna tanggal dan bulan lahirku. Orang yang
di dalam dirinya memiliki jiwa estetika. Katanya jika kau mendapatkan seorang
gadis yang pas di hati maka semuanya akan terjadi. Awalnya aku merasa
kebingungan dan terkeco dengan kata “jika”. Hadir sepenggal pertanyaan dalam
diriku tentang sampai kapankah semua itu terjadi. Namun perlahan lahan seiring
dengan pergantian kalender masa semuanya seakan terjawab. Sejak denganmu aku
seakan dengan leluasanya membingkaikan rasa dalam kata merangkaikan kata dalam
balutan puisi walau pun kelihatannya hanyalah tulisan ceracau. Itulah arti
hadirmu untuk tulisanku.
Sore
inipun aku menantimu sambil menuliskan kisah tentang Kau Vs Tulisanku, sambil
menikmati sepenggal lagu Lokal kesukaan kita dari Adrian Turodoken yang
dilantunkan Ronal Tuanaen Vs Vivi Nor “Serah Soron”. Aku menunggumu di tempat
yang sama, dan gerimis di sore ini pun tak mau berhenti, selalu menggodaku
untuk berlari menembus jutaan rintik-rintiknya. Cintaku kepadamu berjalan seriring waktu, seiring rintik gerimis
di sore hari, seiring tenggelamnya sang surya diufuk barat, seiring merekahnya
cahaya venus di horison langit, seiring kesepian yang singgah di pojok hati,
dan seiring rasa yang perlahan menemukan ruang untuk berteduh.
Ya,
cintaku padamu berjalan seiring terkuaknya selubung rasa yang selama ini begitu
misterius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar