Terkejut,
kaget, prihatin, miris, heran, dan takjub, itulah yang aku rasakan ketika
pertama kali menginjakan kaki di kota yang dijuluki Kota Angin Mamiri (Makassar).
Kota yang menurut orang desa adalah sumber penghidupan untuk merubah nasibnya.
Di kota inilah ribuan kaum urban
berdatangan tiap tahunnya mencoba mencari rezeki dan menatap masa depannya.
Walaupun ternyata kemudian ada yang menjadi pemenang ataupun pecundang.
Kota yang juga menurut generasi muda
terutama anak remaja adalah barometer mode dan icon gaul anak muda Indonesia, lebih
tepatnya kota ini adalah trendsetter pergaulan anak muda Indonesia.
Anda akan
terkesan tidak gaul atau kolot apabila nilai-nilai Makassar tak melekat dalam
pergaulan sehari-hari, yang dalam bahasa mas Tukul Arwana (empat mata) disebut
NDESO atau KATROK.
Makassar,
kota yang menurut pandangan pribadiku adalah kota terunik. Keunikannya bukan
pada tata ruang kota atau struktur kotanya, namun pada kehidupan masyarakatnya
yang seakan tanpa sadar terbagi dalam sekat-sekat kelas sosial dan primodialsme
bagaikan bumi dan langit.
Aku kaget
ketika melihat emperan toko-toko dipenuhi anak-anak jalanan yang tengah
tertidur pulas, rumah-rumah mungil dari gardus atau sisa-sisa bahan bangunan dan
sepanjang jembatan layanyang mengulurkan tangannya meminta-minta rezeki.
Luar
biasa kota ini, pemandangan yang cukup menakjubkan buat aku. Bagaimana tidak,
ditempat aku pemandangan ini tak pernah terlihat, kalaupun ada, mungkin hanya
segelintir orang yang benar-benar tak memiliki sanak saudara. Tidak salah juga ada pepatah yang bilang
“sekejam-kejamnya ibu tiri tak sekejam kota makassar”. Aku mendengar dari
penuturan beberapa teman yang sudah mendahuluiku, banyak orang yang akhirnya
beralih profesi menjadi pembunuh, pencopet, ataupun preman karena sulitnya
mencari rupiah, katanya semua itu dilakukan hanya demi menyambung hidup dan
sesuap nasi.
Temank
benar, karena saya sendiri sudah merasakan efek dari pepatah diatas, belum lama
berada di kota ini saya dipajak oleh para preman ketika aku tengah berbelanja
di pasar sentral, memegang teguh pepatah diatas.
Maklumlah,
aku pendatang baru yang belum berpengalaman. Banyak hal tentunya yang bisa kita
lukiskan dari kota ini, tak akan habis-habisnya.
Makassar
tak pernah mati, dia selalu terjaga sepanjang siang dan malam. Aktifitas yang
tak pernah berhenti sepanjang hari, di sini manusianya seperti robot, bekerja
dari pagi dan baru pulang sore harinya. Ada juga yang malah baru bekerja ketika
senja mulai merona dan kembali ke peraduan dan baru pulang ketika bola api
kemerah merahan kembali bertengger di atas cakrawala ujung timur. Luar biasa,
etos kerja yang tak ditemui ditempat lain. Di sini uang adalah Raja.
Aku
tak mau bicara panjang lebar tentang kota ini, namun ada beberapa hal yang
benar-benar diajarkan kota ini kepadaku. Makassarlah yang membuat aku
benar-benar mandiri dan dewasa menatap kerasnya kehidupan, Makassarlah yang
mengajari aku arti keikhlasan membantu sesama, Makassarlah yang menuntun aku
menyelami dalamnya makna kesabaran, Makassarlah yang membuat aku memahami
esensi kehidupan, Makassarlah yang membuat aku mengenal Tuhan lebih dekat lagi.
Makassarlah yang telah membuat aku untuk pertama kalinya menitikan air mata.
Terakhir,
sebelum menutup tulisan ini. Untuk Bapak Sahrul Yasin Limpo Gubernur Sulsel
yang terhormat, Wargamu sekarang bertambah pak dengan kehadiranku, maaf yah
pak, suda empat tahun aku berada di kota ini namun belum melapor ke RT dan RW setempat. Kira-kira
illegal ndag pak orang-orang seperti ini?
Karena kedatanganku sama seperti orang-orang yang lain, mencari seberkas
harapan dan seribu kepastian, ingin mencuri kekayan Makassar berupa ilmu dan
juga ingin menaklukan Makassar dengan segala konsekwensinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar