Minggu, 24 Agustus 2014

"MAKASSAR PUNYA CERITA"


Terkejut, kaget, prihatin, miris, heran, dan takjub, itulah yang aku rasakan ketika pertama kali menginjakan kaki di kota yang dijuluki Kota Angin Mamiri (Makassar). Kota yang menurut orang desa adalah sumber penghidupan untuk merubah nasibnya.
            Di kota inilah ribuan kaum urban berdatangan tiap tahunnya mencoba mencari rezeki dan menatap masa depannya. Walaupun ternyata kemudian ada yang menjadi pemenang ataupun pecundang.
            Kota yang juga menurut generasi muda terutama anak remaja adalah barometer mode dan icon gaul anak muda Indonesia, lebih tepatnya kota ini adalah trendsetter pergaulan anak muda Indonesia.
Anda akan terkesan tidak gaul atau kolot apabila nilai-nilai Makassar tak melekat dalam pergaulan sehari-hari, yang dalam bahasa mas Tukul Arwana (empat mata) disebut NDESO atau KATROK.
Makassar, kota yang menurut pandangan pribadiku adalah kota terunik. Keunikannya bukan pada tata ruang kota atau struktur kotanya, namun pada kehidupan masyarakatnya yang seakan tanpa sadar terbagi dalam sekat-sekat kelas sosial dan primodialsme bagaikan bumi dan langit.
Aku kaget ketika melihat emperan toko-toko dipenuhi anak-anak jalanan yang tengah tertidur pulas, rumah-rumah mungil dari gardus atau sisa-sisa bahan bangunan dan sepanjang jembatan layanyang mengulurkan tangannya meminta-minta rezeki.
Luar biasa kota ini, pemandangan yang cukup menakjubkan buat aku. Bagaimana tidak, ditempat aku pemandangan ini tak pernah terlihat, kalaupun ada, mungkin hanya segelintir orang yang benar-benar tak memiliki sanak saudara. Tidak  salah juga ada pepatah yang bilang “sekejam-kejamnya ibu tiri tak sekejam kota makassar”. Aku mendengar dari penuturan beberapa teman yang sudah mendahuluiku, banyak orang yang akhirnya beralih profesi menjadi pembunuh, pencopet, ataupun preman karena sulitnya mencari rupiah, katanya semua itu dilakukan hanya demi menyambung hidup dan sesuap nasi.
Temank benar, karena saya sendiri sudah merasakan efek dari pepatah diatas, belum lama berada di kota ini saya dipajak oleh para preman ketika aku tengah berbelanja di pasar sentral, memegang teguh pepatah diatas.  
Maklumlah, aku pendatang baru yang belum berpengalaman. Banyak hal tentunya yang bisa kita lukiskan dari kota ini, tak akan habis-habisnya.
Makassar tak pernah mati, dia selalu terjaga sepanjang siang dan malam. Aktifitas yang tak pernah berhenti sepanjang hari, di sini manusianya seperti robot, bekerja dari pagi dan baru pulang sore harinya. Ada juga yang malah baru bekerja ketika senja mulai merona dan kembali ke peraduan dan baru pulang ketika bola api kemerah merahan kembali bertengger di atas cakrawala ujung timur. Luar biasa, etos kerja yang tak ditemui ditempat lain. Di sini uang adalah Raja.
Aku tak mau bicara panjang lebar tentang kota ini, namun ada beberapa hal yang benar-benar diajarkan kota ini kepadaku. Makassarlah yang membuat aku benar-benar mandiri dan dewasa menatap kerasnya kehidupan, Makassarlah yang mengajari aku arti keikhlasan membantu sesama, Makassarlah yang menuntun aku menyelami dalamnya makna kesabaran, Makassarlah yang membuat aku memahami esensi kehidupan, Makassarlah yang membuat aku mengenal Tuhan lebih dekat lagi. Makassarlah yang telah membuat aku untuk pertama kalinya menitikan air mata.
Terakhir, sebelum menutup tulisan ini. Untuk Bapak Sahrul Yasin Limpo Gubernur Sulsel yang terhormat, Wargamu sekarang bertambah pak dengan kehadiranku, maaf yah pak, suda empat tahun aku berada di kota ini  namun belum melapor ke RT dan RW setempat. Kira-kira illegal ndag  pak orang-orang seperti ini? Karena kedatanganku sama seperti orang-orang yang lain, mencari seberkas harapan dan seribu kepastian, ingin mencuri kekayan Makassar berupa ilmu dan juga ingin menaklukan Makassar dengan segala konsekwensinya. 

Tidak ada komentar: