Minggu, 24 Agustus 2014

SATU NAMA SATU CERITA

          Malam semakin larut, kesunyian berbalut dengan kehampaan menemaniku di sudut sepi. Detak jarum jam seakan terdengar begitu keras pada malam menjelang larut. Tak ada bulan dan bintang bintang di langit, hanya seekor laba-laba tua dengan sarangnya yang tampak begitu tebal. “Kenapa kau terus memaksakan kelopak matamu untuk bertahan menantikan bintang yang tak kunjung datang? Bukan hal menarik yang mungkin bisa membuatmu terjaga hingga pagi”. Aku seperti merasa mendengar semua ocehan dan cemoohan mereka, lalu aku seakan berargumen dengan mereka, “apa pedulimu jam dinding? mengapa kau tidak diam saja dan melakukan tugasmu untuk menjalankan jarum waktu agar tetap berputar, dan kau laba-laba tua, kenapa kau terus memandangiku dengan matamu yang banyak itu, kenapa kau tidak mengurus urusanmu sendiri, atau mungkin kau lebih baik mengganti sarangmu yang sudah tampak lusuh?”. Lalu dengan lantang sepertinya laba-laba itu berkata padaku “memangnya kau itu siapa untuk aku perhatikan, jangan salahkan mataku yang lebih dari satu, bukan berarti aku selalu memperhatikanmu, aku punya banyak hal untuk aku lakukan dari sekedar memperhatikan mu, atau lebih baik dari sekedar memikirkan seorang wanita di luar sana yang mungkin tidak sedang memikirkanmu, atau bahkan sedang tertawa senang entah dengan siapa”.
Sindirannya begitu tajam menusukku dan cemoohannya begitu membodohkanku. Lalu dengan nada yang tak mau kalah, aku kembali bersuara pada mereka, “memangnya kalian yang hanya binatang dan benda mati tahu apa tentang hati, tahu apa tentang cinta?”. Ini bukan hal yang mudah”. “Jika kau sadar kalau ini bukan hal yang mudah, kenapa tidak menjadi egois saja dan biarkan cinta itu berakhir di tengah jalan, atau kebingungan di persimpangan”.
“Kalian memang tidak akan pernah tahu, jika saja cinta itu mudah, mungkin romeo juga tak harus mati karena meminum racun”.
Aku seperti merasa apa yang terasa, ketika rasa yang telah lama dikecap kini seakan memudar, seperti hambar.
“Sudahlah! Buat apa kamu merasakan yang sudah pudar dan hambar. Kamu tidak perlu menanti yang belum pasti, mari ikut denganku, kita nikmati malam ini”
“Lalu apa sebenarnya yang ada?, ketika yang dinanti belumlah pasti, yang terasa hanya asa yang tak ter-asah, ternyata mimpi yang tak pernah mampir dan bayang yang tak lagi datang.
Lalu apa yang sebenarnya ada?, yang tersisa hanya kiasan pada kertas-kertas lusuh tak bertuan, yang bercerita pada bayang dan mimpi yang sedang menanti hal yang belum pasti”.
Gelas yang ada di sampingku juga tak mampu menjawab tanyaku. Kemudian ku hembuskan nafas bersamaan dengan asap yang keluar melalui mulut dan hidungku.
“Ada apa denganmu?” Suara yang kembali membuatku berpikir kalau aku mungkin sudah gila. “Aku disini, di atasmu” Ternyata asap yang ku hembuskan tadi berkumpul dan mengepul membentuk subuah tanda tanya. Dengan mengabaikan semua pemikiran tentang aku yang mungkin sudah mulai gila, aku seakan bercerita padanya. “Cinta, kemana dia bawa pergi hatiku?, aku hanya berharap dia tidak terlalu jauh, yang akhirnya membuatnya jenuh, dan kemudian meninggalkan hatiku sendiri, tak tersentuh”.
“Memangnya cintamu ada dimana?
“Aku juga tidak tahu. Aku hanya tahu tentang perbedaan yang akhirnya membuat kami jauh”
“Banyak rasa yang sebenarnya sama jika saja kalian manusia mau sedikit merasa. Dengan tidak hanya melihat warna kulit dan harum buahnya. Sama seperti perbedaan yang kalian miliki, yang jika terlihat, sungguh begitu beragam. Tapi jika saja kalian mau merasa, ternyata banyak rasa yang sama, bahkan ketika kalian sedang menelan perbedaan”
“Itu dia yang membuat aku tidak mengerti. Aku seperti dihadapkan pada sebuah rangkaian puzzle raksasa bermotif hati yang telah tersusun dan kemudian dibongkar, mungkin sudah puluhan kali dilakukan, hingga pada satu saat yang mungkin kesekian ratus kalinya, aku merasa sepertinya ada bagian yang bukan pada tempatnya, atau bisa jadi hilang. Meski tak lelah terus mencari dan mencoba menempatkannya kembali, tapi tetap saja kelihatannya lain, tak seperti yang biasa dilakukan hingga ratusan kali. “Mungkin memang harus seperti itu kawan. Mungkin memang harus ditinggalkan dan biarkan menjadi rangkaian susunan yang tak berujung”.
“Tapi kenapa harus seperti ini?, apa yang salah?, siapa yang harus disalahkan?”
“Tak ada yang salah dan harus disalahkan. Ini sama seperti bunga yang ingin mekar, mengizinkan kumbang dan angin menghisap dan menebar putiknya, untuk menjadi sempurna pada waktunya. Lalu siapa yang nantinya harus disalahkan jika bunga gugur sebelum berkembang?. Apa kumbang yang berlebihan menghisap sarinya?, atau angin yang terlalu jauh menebarnya? coba jawab tanya itu”.
Otakku seperti memberi perintah pada mulutku untuk menjawab tanya itu, tapi sepertinya aku tak mampu.
          Apa benar yang dikatakan jam dinding tadi kepadaku, kenapa aku tidak menjadi egois saja, menjadi angkuh dalam ringkihnya cinta yang sepertinya masih haus akan pelukan dan sanjungan. Apakah aku harus melangkah sombong di antara pengemis-pengemis hati yang lapar akan kasih, sementara aku sedang membohongi diri sendiri bahwa aku masih mencari cinta yang ingin memberi. Ketika aku begitu senang membicarakan tentang egoku, tiba-tiba aku dibentak, sangat menghentak karena ego yang coba memanipulasi naluriku, untuk menjadikan ini sebagai kemenanganku sendiri. Dengan keterpaksaan kebahagiaan yang dengan segala cara coba untuk dipalsukan agar semua terlihat seakan abadi. Ternyata bentakan itu adalah suaraku sendiri, tapi tidak dari mulutku.
          “Hey, ada apa denganmu yang merupakan wujud nyata dari aku? kenapa kau biarkan ego meracuniku, aku hampir sekarat dalam tubuhmu karena ego yang kau biarkan menyerangku. Lebih baik menunggu orang yang kita inginkan ketimbang memilih apa yang ada. Lebih baik menunggu orang yang tepat, karena hidup ini terlampau singkat untuk dilewatkan bersama pilihan yang salah, karena menunggu mempunyai tujuan yang mulia dan misterius. Perlu kau ketahui bahwa bunga tidak mekar dalam waktu semalam, kota Roma tidak dibangun dalam sehari, kehidupan dirajut dalam rahim selama sembilan bulan, cinta yang agung terus bertumbuh selama kehidupan ini. walaupun menunggu membutuhkan banyak hal. Penantian menjanjikan satu hal yang tidak dapat seorangpun bayangkan”.  
            Aku terdiam dan kembali merenung, berharap pada waktu, memohon untuk tidak segera berlalu, dan memutar kembali yang lalu, di saat yang sama aku berkata janji pada bunga untuk tidak membiarkannya gugur sebelum berkembang, dan melarang angin untuk bertiup terlalu kencang agar tak membuat sarinya terbang menghilang, dan sempurna saat berkembang.

Tidak ada komentar: