“Bintang –
bintang kian sirna ditelan malam, kesunyian berbalut dengan kehampaan,
bertaburan harapan walau hanya angan sesaat bagai arus menderu tanpa diketahuarahnya.
Dedaunan berjatuhan dan berguguran, ranting – ranting bagai dawai
tak bersenar, deburan ombak menghantam karang. Saat kau tak ada di sini diriku
terpenjara di sudut sepi. Suda tak terhitung lagi waktu untuk melupakanmu namun
tak perna bisa
dan tak akan bisa melupakan dirimu”
*(Watowuan
Tyno)*
|
"Malam Panjang" |
Di antara banyaknya waktu yang
tercipta dalam sebuah kehidupan mungkin waktu malam yang menjadi favorit
sebagian orang. Waktu yang diciptakan untuk menikmati indahnya ciptaan Sang
Kuasa dan waktu yang diciptakan bagi insan untuk memberikan hak – hak tubuhnya dari
segala angkuhnya kehidupan dunia. Waktu malam merupakan sebuah moment yang
paling tepat untuk membiarkan pikiran menerawang kehidupan fase demi fase sambil
menikmati rahmat dan anugrah dari Sang Pencipta, kita bisa menjelajah dan
mengingat jauh dalam memori kita. Namun
ada juga yang menikmati dunia malam dengan cara yang berbeda, dengan dunia
hiburan yang serba glamour, dengan dunia bola yang dipenuhi teriakan pendukung
tim idola, atau mungkin dengan terdiam, berpikir, sambil menyusun dan merangkaikan
kata menjadi sebuah kalimat yang menarik. Setiap orang punya cara sendiri
menikmati malam, termasuk bersimpuh dan berkomunikasi dengan Sang Pembolak balik
hati.
Bagiku malam ini adalah waktu yang tepat untuk menikmati kegelisahan. Dia
tak pernah bising, sesekali lafalkan sepi yang menggerogoti masa dan selalu
hadir di antara pekat serta memberikan hitam di atas gemerlap sudut dunia, dan
aku akan terus menjaga malam agar tetap gelap. Sekarang tak akan ku biarkan
malam berjalan cepat. Biar tak perlu tergesa-gesa menyudahi hari. Agar tak
terburu-buru menanggalkan angka. Supaya tak usah bersusah payah menelurkan
kenangan. Biarkan kita sama-sama
merasakan diam yang paling sunyi. Tanpa harus ada mulut yang menganga. Tanpa
ada ucapan mematikan. Tanpa riuh ramai suara. Hanya kita, aku dan malam panjang.
Dia begitu tahu, malam ini sebenarnya aku ingin berteriak, aku ingin memaki, aku
ingin marah. Sungguh aku ingin sekali marah, aku benar-benar ingin memaki, teramat
ingin bisa berteriak sejadi-jadinya. Tetapi itu semua hanya sekedar ingin.
Keinginan yang akhirnya tak bisa aku lakukan. Karena dia selalu melenyapkan
keinginan itu bersama hening. Hening yang paling senyap yakni diam. Dia lalu
terdiam, menatapku dengan pandangan kosong. Selalu saja begitu. Setiap malam.
Aku benci tatapannya. Sungguh membuatku tak jadi ingin berteriak.
Tak jadi
ingin memaki, tak jadi ingin marah, hanya ingin diam bersamanya. Bersama
heningnya, bersama sunyinya dan tangisnya yang tak pernah bersuara. Malam ini
dia kembali bersembunyi bersama gelap. Mengendap dalam lelap, memaksaku
mengejar bintang di atas cakrawala yang mendung dan hamparan pekat yang tak ada
ujung, gelap dan hitam. Kini aku yang
terdiam membisu. Mendekap malam bersamanya, bersembunyi dibalik gelapnya, dan
tangis itu kian pecah membingarkan malam. Sekarang, tak akan ku biarkan malam
berjalan cepat.
Biar tak
perlu tergesa-gesa menyudahi hari karena siang pun tak sanggup lagi
memberikanku pelangi. Biarkan hitam warnai langitku, biarkan bintang yang
terangi langitku.
Gelap
sudah bergelayut disini, hujan menyisakan genangan genangan air dalam kolam -
kolam kecil di halaman kos. Tapi aku masih saja mematung menepis kesunyian.
Mulai ku julurkan telunjuk mengukir sisa - sisa bayangmu di atas kertas lusuh. Aku lupa saat mulai membuat sketsa wajahmu
karena semburat senja tadi menghalangiku menatap dirimu lebih lama. Ternyata
memoriku jauh lebih kuat dari itu, bukan wajahmu yang aku lupa tapi seberapa
lama aku mengenalmu yang aku lupa, karena jam dinding pun tak mau bercerita
tentang sejak kapan ku tawarkan kehangatan itu pada.
Dengarlah
aku akan bercerita tentang sekeping hati yang kusisakan untukmu. Benar, kau
benar.. Sekeping hati itu tidak akan ku satukan pada sekeping hati yang masih
rancu bagimu. Karena ada seonggok hati utuh yang telah kau genggam lebih
dahulu. Tapi kenapa kau ragu? aku tidak akan memintamu memungut kepingan hati
itu untukku. Aku hanya meminta kau biarkan saja kepingan hatiku berkelana
sesuka hatinya sampai waktu menghentikan langkahnya. Tahukah kau, buah kata
yang akan ku lantunkan di setiap sembah sujudku kepada Sang Pembolak balik
hati. Ya tentu, tentu ada namamu, ada doa ketentraman dan kesehatan untukmu. Andai
kau tahu, saat ini aku tidak pernah punya angan jauh bersamamu, dapat melihatmu
tersenyum saja sudah melepaskan gundahku. Aneh memang, jangankan kau. Aku saja
bingung dengan perasaanku. Aku tak ingin memiliki mu hari ini, tapi aku ingin
kau tetap ada disini menjadi senandung tidurku. Biarlah sayapku kembang dengan
bayangmu. Sungguh indah, benar - benar indah rasa ini.
Tuhan memberikan
aku sebuah rasa keikhlasan yang lebih kuat dari rasa inginku. Tuhan pun
mengulurkan tanganNya dengan murah hati untuk menampung rasa yang telah aku
titipkan padaNya. Aku tak pernah takut, aku tak pernah sedih, karena aku bukan
seekor kukang yang selalu malu - malu menampakkan meganya. Aku adalah seekor
semut yang akan selalu mengangkat beban jauh lebih berat tanpa mengutuk-ngutuk
adam dan Tuhannya karena Tuhan memberikan aku sebuah rasa dengan keikhlasan
yang tiada terkira.
Indah,
sungguh, dan rasa itu yang menuntunku untuk menepis kesendirian itu. Supaya kau
tahu, aku tak sebejat itu. Tidak, aku tidak akan membagi sekeping hati yang
telah aku sisakan untukmu kepada para pengembara baru yang mencoba untuk
singgah dan berlabuh disana. Karena aku akan membiarkan sekeping hati itu
tertanam dan mengakar hidup dalam semak-semak rindu yang terkadang berbuah dan
berbunga atau terkadang hanya akan menjadi makanan ulat-ulat kecil saja.
Sekarang aku
hanya ingin menjadi yang terbaik untuk diriku. Karena aku bukanlah manusia yang
sempurna rupa, tapi aku hanya seseorang hamba sederhana yang mencintaimu dengan
bersembunyi di balik doanya. Bukan disini aku menunggumu, bukan hari ini ingin
aku memilikimu tapi nanti. Suatu hari jika torehan tinta takdir Sang Pencipta
tergores bersamamu di mahligai keindahannya.
Terima kasih untuk setiap rintisan
rindu yang tumbuh kian rindang dan rimbun. Aku membiarkannya menjadi penyejuk
di pelataran jiwa. Aku beranikan untuk menegaskan bahwa tak akan aku ijinkan
siapapun memetik daun rindu ini. Biarkan ia bermekaran bersama bunga-bunga
kasih.
Bergelut
dengan aroma bening wajahmu yang membayang selalu. Untuk semua rindu yang aku rangkul dalam berat
yang membebani. Untuk semua sketsa indah di malam-malam mimpiku. Semua berarus
pada sebentuk kata penuh warna - warni rasa. Engkau seperti ramuan yang memberi
aku kekuatan kepada kebimbangan yang tak kunjung berhenti untuk terus
difikirkan. Namamu kian terukir menjadi nyata. Kepada bisu yang tak pernah bersuara walau
hanya mengatakanya kepada angin, kau benar-benar begitu tangguh diam
dalam lipatan seribu bahasa.
Pada semburat cemas yang memikirkanmu dalam diam. karena
tanganku tak akan menyentuh, suara pun tak akan aku beranikan berbisik mengisi
ruang kecil dalam telingamu.
Karena selaksa rindu itu
kutahan dan kutangguhkan, semua aku semayamkan aku memupuknya supaya beranak
pinak, melahirkan rasa yang bersahaja, merangkum setiap kisah – kisah,
mengabadikanmu dalam penjara traili hatiku.
Sekali lagi pada sepi di bawah temaram malam, taukah kau sebagai
temanku dalam bisik - bisik nada menyebut namanya. Hanya antara aku dan kau
temaram malam yang tahu aku meniti pada titah langkah memperpantas diri.
Hari-hari menjadi tumpukan waktu
merangkai pecahan-pecahan mozaik terserak yang kian menjadi teka-teki terbaca. Karena
namamu terbaca untuk sebuah makna. Makna dalam penantian penuh kesungguhan
hingga tiba waktunya Sang Pemilik Cinta mengikat kita dengan tali harapan.