“Tak perlu
menjadi sempurna, hanya untuk sekedar mengejar mimpi dan asa,
jadilah
yang terbaik, lalu kejar angan tanpa harus menoleh ke belakang”
*(Watowuan
Tyno)*
Ketika
kelopak mata terbuka awalnya aku menangis, manusia di ujung mata mulai
tersenyum tipis, manusia pertama yang aku lihat kata mereka aku boleh
memanggilnya ibu, ia menimang dengan irama senandung malam, begitu seterusnya
hingga aku tenggelam dalam hitam, hidup dalam tidurku sepasang mata terus
memperhatikan raga mungil, malam itu aku menangis, tangisan yang memecah sunyi
di belantara sepi, ia terbangun dengan setengah mata terbuka lalu ia menimang
dengan irama senandung malam begitu malam seterusnya.
Surga di bawah telapak kaki ibu, begitulah yang kita percayai selama ini, sosok perempuan yang tangguh, sangat menginspirasi hidupku. Sosok yang tegar terkadang cerewet tapi itulah ibu orang yang kritis, dan sangat-sangat sayang terhadap kami lima bersaudara.
Surga di bawah telapak kaki ibu, begitulah yang kita percayai selama ini, sosok perempuan yang tangguh, sangat menginspirasi hidupku. Sosok yang tegar terkadang cerewet tapi itulah ibu orang yang kritis, dan sangat-sangat sayang terhadap kami lima bersaudara.
Bercerita
tentang siapakah ibuku, ada yang unik dan menurutku sangat heroik, mengajarkan
kami tentang bagaimana mempertahankan hidup dalam kehidupan yang pelik dan
menyakitkan. Ibuku terlahir juga dari seorang ibu yang menurutku bukanlah sosok
orang biasa, yang selalu mengiringi tidur kami dengan dongeng klasik di waktu
silam.
Bakat
untuk jualan ibuku sudah ditunjukkannya sejak berumur belia, tapisan beras yang
dicampur dengan jagung yang dititihnya menjadi santapan siang setelah pulang
sekolah di masa itu. Ibuku saat itu hanya bisa mengenyam pendidikan di bangku
sekolah dasar, karena kelurganya saat itu hidup dalam kesederhanaan dan
keterbatasan. Sejak ibu menikah banyak hal yang berubah karena ayahku saat itu
adalah seorang pekerja keras. Selama ayahku masi sehat, keluarga kami sangat
rukun dan hidup berkecukupan.
Suatu peristiwa yang telah melanda
keluargaku pada saat aku masi duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga.
Hal yang
tidak bisa terlupakan dalam perjalanan sejarah hidupku. Ayahku mengalami
gangguan jasmani atau jatuh sakit membuat kebahagian dan tawa ria dalam
keluargaku hilang, lenyap dan sirna seketika sampai saat ini. Ayahku tak lagi
bekerja, dia hanya bisa duduk termangu memikirkan nasip keluarganya.
Bertolak
dari peristiwa itu semua keperluan dan kebutuhan keluarga menjadi tanggung
jawab ibu layaknya berperan sebagai kepala keluarga.
Walaupun
dengan beban yang berat, ibuku tak pantang menyerah, walau sering kali menangis
dalam gelap, berkeluh kesah dalam senyap, menanggung peluh dan penat seorang
diri.
Berbagai usaha dia lakukan guna menghidupi keluarganya. Berbagai banyak rintangan selalu menyelimuti keluarga kami seakan menjadi sahabat sejati.
Berbagai usaha dia lakukan guna menghidupi keluarganya. Berbagai banyak rintangan selalu menyelimuti keluarga kami seakan menjadi sahabat sejati.
Berbagai
macam problematika terus menggerogoti keluargaku, namun ibuku tak perna
menyerah sedikitpun dengan keadaan, karna baginya hidup adalah sebuah
pengorbanan maka inilah pengrbanannya untuk hidup demi anak – anaknya.
Mungkin
telah habis dan kering keringat dan air matanya, hingga kulit yang dulu indah
kini bagaikan gumpalan benang kusut, wajah yang dulu mulus kini dipenuhi
goresan-goresan halus bagaikan lukisan seorang sastrawan, yang tak ternilai
harganya. Bagiku Ibuku tak seperti ibu yang lain.
Tanpa
disadari aku dan kakakku sebenar lagi menyelesaikan perkulihan di kota
Makassar. Inilah bukti bahwa ibuku tidak seperti ibu yang lain. Bagiku tidak
semua ibu yang hidup dalam keterbatasan rela membiayai kedua anaknya sampai
pada perguruan tinggi, inilah hal yang luar biasa bagiku.
Sampai
detik ini belum sedikitpun wujut terimakasi yang diberikan kepadanya. Mungkin
sampai kapanpun semuanya tak mampu dibalas dengan sesuatu.
Ibu bagaikan
malaikat tak berjubah, mendidik kami dengan kasih yang tulus bagaikan bulu
domba dan suci bagaikan merpati.
Masih
terlintas dalam ingatanku akan pesannya sebelum pergi berpetualang mencari
seberkas harapan dan selembar kertas penuh makna di kota ini “Tak perlu menjadi
sempurna, hanya untuk sekedar mengejar mimpi dan asa, jadilah yang terbaik,
lalu kejar angan tanpa harus menoleh ke belakang”. Setiap
derap langkaku entah kemanapun selalu ada hadirnya dalam ingatanku. Ibu adalah inspirasiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar