“Bukannya
kau sudah bulat dengan pilihan yang akan dibuat,
ataukah kau masih bergelut antara berhenti
atau berlanjut.
setiap perubahan ada kebimbangan tetapi
kau tetap
harus memilih berhenti atau diteruskan”
*(Watowuan
Tyno)*
Aku berdiri sendirian kemudian duduk
di bawah teduh pohon mangga, denyut kehidupan tampak begitu lenggang, angin
sepoi-sepoi menghantarkan kedamaian hingga sampai ke ulu hati. Aku pun damai
karenanya. Burung pipit bercericit penuh riang di atas rindang dedaunan pohon mangga
di sekitar kos, serupa merayakan sebuah pesta kemenangan, sesekali mata ini
asyik melihat burung-burung yang bertingkah menggoda lawan jenisnya, awan putih
bergumpal di langit siang, serupa kapas putih begitu cerah bahkan menyilaukan
mata. Siang ini agak begitu teduh. Mataku
mengerjap-ngerjap membaca larik demi larik pahatan kata-kata yang ditulis oleh seorang
penyair. Aku terkesima bergumam dalam hati tentang sebuah pengakuan, lebih
tepatnya ingin memuji, Apa memuji? Dikira gila, bebicara pada alam yang
lenggang di siang yang teduh di bawah pohon mangga, siapa yang akan
mendengarkan aku?. Aku ingin memujinya meski dalam keadaan sepi. Tulisan yang
luar biasa dari penyair ulung ini. Perhatianku terus tersedot untuk
membaca dan terus membaca setiap rembasan isi hatinya yang menjelma menjadi
tulisan, tulisan itu serupa berbicara dengan aku, aku semakin terkesima,
tulisan itu seakan bertutur dengan lembut, tak pernah sedikitpun bertingkah
menggurui. Wajar jika tulisan itu begitu membekaskan sebuah kesan yang dalam
teramat sangat di dalam hati.
Perhatianku tergangu, mendengar suara gaduh dua
pejantan burung pipit yang sedang bertarung memperebutkan sang betina jelita
yang mereka kagumi, sungguh semacam manusia saja, begitulah tingkah mereka
sesama makhluk Tuhan yang di bekali perasaan untuk terhipnotis pada lawan
jenisnya. Aku tak mau menggangu mereka, takut mengganggu urusan dua pejantan
burung pipit itu. Kemudian aku putuskan berpindah ke pohon mangga sebelahnya
untuk melanjutkan membaca tulisan itu.
Aku
sungguh sangat mengagumi karya tulisan tersebut, berkiprah dari hasil berfikirnya yang
menggenang ide dan gagasannya, merambah kemana - mana, namun dia tau bagaimana
membuatnya tidak sia-sia terbuang, dia tahu bagaimana membuatnya lebih berarti
maka lewat tumpukan kertas dia memenjarakan isi fikirannya, isi suara hatinya
kedalam penjara kata-kata yang ia tulis dan akan beranak-pinak melahirkan sebuah
manfaat, khasanah dan itu yang
aku kagumi dari seorang penyair ini. Tulisannya terasa seperti ada magnet yang
selalu menarik tanganku untuk segera menari di atas papan keyboard. Dari
sinilah aku sepertinya tersadar jika setiap
larik-larik tulisan diam mampu berbicara untuk menghantarkan pesan lewat
huruf-huruf yang berderet membentuk kata, aku percaya bahwa kata-kata itu
terangkai dalam barisan kalimat yang sama-sama kita kagumi kandungan maknanya,
karena kalimat itu didasarkan hati yang ikhlas aku yakin akan membentuk kalimat
yang berbunyi dan mampu didengar oleh telinga hati. Walaupun tak seharusnya menjadi seperti orang lain,
kita tak seharusnya menjadi sama dengan orang lain , karena kita tak akan
pernah bisa, diri kita adalah diri kita, kita bukanlah mereka, aku dan kau
berbeda satu sama lain. Aku dengan kelebihan dan kekurangan yang melekat dalam
diriku dan kau dengan kelebihan dan kekurangan yang melekat dalam dirimu.
Selamanya tak akan pernah bisa sama.
Di Atas pohon mangga yang teramat rindang ini aku melihat
lagi salah satu burung pejantan memenangkan pertarungan dalam memperebutkan
sang betina jelita yang dikagumi. Mereka berasyik melakukan ritual sakral untuk
melanjutkan generasi kehidupanya. Dengan pertunjukan yang hebo ada makna
positif yang dapat dipetik, semoga aku bisa menjadi salah satu pemenang dalam
pergulatan hidup ini dan terus belajar menuangkan segalah apa yang dirasakan
oleh jiwa dan naluriku, walaupun hanyalah tulisan lusu dan ceracau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar