Minggu, 24 Agustus 2014

BELAJAR BERLARI MESKI TERTATIH

“Bukannya kau sudah bulat dengan pilihan yang akan dibuat,
 ataukah kau masih bergelut antara berhenti atau berlanjut.
 setiap perubahan ada kebimbangan tetapi
kau tetap harus memilih berhenti atau diteruskan”
*(Watowuan Tyno)*

            Aku berdiri sendirian kemudian duduk di bawah teduh pohon mangga, denyut kehidupan tampak begitu lenggang, angin sepoi-sepoi menghantarkan kedamaian hingga sampai ke ulu hati. Aku pun damai karenanya. Burung pipit bercericit penuh riang di atas rindang dedaunan pohon mangga di sekitar kos, serupa merayakan sebuah pesta kemenangan, sesekali mata ini asyik melihat burung-burung yang bertingkah menggoda lawan jenisnya, awan putih bergumpal di langit siang, serupa kapas putih begitu cerah bahkan menyilaukan mata. Siang ini agak begitu teduh. Mataku mengerjap-ngerjap membaca larik demi larik pahatan kata-kata yang ditulis oleh seorang penyair. Aku terkesima bergumam dalam hati tentang sebuah pengakuan, lebih tepatnya ingin memuji, Apa memuji? Dikira gila, bebicara pada alam yang lenggang di siang yang teduh di bawah pohon mangga, siapa yang akan mendengarkan aku?. Aku ingin memujinya meski dalam keadaan sepi. Tulisan yang luar biasa dari penyair ulung ini. Perhatianku terus tersedot untuk membaca dan terus membaca setiap rembasan isi hatinya yang menjelma menjadi tulisan, tulisan itu serupa berbicara dengan aku, aku semakin terkesima, tulisan itu seakan bertutur dengan lembut, tak pernah sedikitpun bertingkah menggurui. Wajar jika tulisan itu begitu membekaskan sebuah kesan yang dalam teramat sangat di dalam hati.
Perhatianku tergangu, mendengar suara gaduh dua pejantan burung pipit yang sedang bertarung memperebutkan sang betina jelita yang mereka kagumi, sungguh semacam manusia saja, begitulah tingkah mereka sesama makhluk Tuhan yang di bekali perasaan untuk terhipnotis pada lawan jenisnya. Aku tak mau menggangu mereka, takut mengganggu urusan dua pejantan burung pipit itu. Kemudian aku putuskan berpindah ke pohon mangga sebelahnya untuk melanjutkan membaca tulisan itu.
Aku sungguh sangat mengagumi karya tulisan tersebut, berkiprah dari hasil berfikirnya yang menggenang ide dan gagasannya, merambah kemana - mana, namun dia tau bagaimana membuatnya tidak sia-sia terbuang, dia tahu bagaimana membuatnya lebih berarti maka lewat tumpukan kertas dia memenjarakan isi fikirannya, isi suara hatinya kedalam penjara kata-kata yang ia tulis dan akan beranak-pinak melahirkan sebuah manfaat, khasanah dan itu yang aku kagumi dari seorang penyair ini. Tulisannya terasa seperti ada magnet yang selalu menarik tanganku untuk segera menari di atas papan keyboard. Dari sinilah aku sepertinya tersadar jika setiap larik-larik tulisan diam mampu berbicara untuk menghantarkan pesan lewat huruf-huruf yang berderet membentuk kata, aku percaya bahwa kata-kata itu terangkai dalam barisan kalimat yang sama-sama kita kagumi kandungan maknanya, karena kalimat itu didasarkan hati yang ikhlas aku yakin akan membentuk kalimat yang berbunyi dan mampu didengar oleh telinga hati. Walaupun tak seharusnya menjadi seperti orang lain, kita tak seharusnya menjadi sama dengan orang lain , karena kita tak akan pernah bisa, diri kita adalah diri kita, kita bukanlah mereka, aku dan kau berbeda satu sama lain. Aku dengan kelebihan dan kekurangan yang melekat dalam diriku dan kau dengan kelebihan dan kekurangan yang melekat dalam dirimu. Selamanya tak akan pernah bisa sama. 
            Di Atas pohon mangga yang teramat rindang ini aku melihat lagi salah satu burung pejantan memenangkan pertarungan dalam memperebutkan sang betina jelita yang dikagumi. Mereka berasyik melakukan ritual sakral untuk melanjutkan generasi kehidupanya. Dengan pertunjukan yang hebo ada makna positif yang dapat dipetik, semoga aku bisa menjadi salah satu pemenang dalam pergulatan hidup ini dan terus belajar menuangkan segalah apa yang dirasakan oleh jiwa dan naluriku, walaupun hanyalah tulisan lusu dan ceracau.

Tidak ada komentar: