Senin, 27 Oktober 2014

MALAM PANJANG

“Bintang – bintang kian sirna ditelan malam, kesunyian berbalut dengan kehampaan, bertaburan harapan walau hanya angan sesaat bagai arus menderu tanpa diketahuarahnya. Dedaunan berjatuhan dan berguguran, ranting – ranting bagai dawai tak bersenar, deburan ombak menghantam karang.  Saat kau tak ada di sini diriku terpenjara di sudut sepi. Suda tak terhitung lagi waktu untuk melupakanmu namun tak perna bisa 
dan tak akan bisa melupakan dirimu”
*(Watowuan Tyno)*
"Malam Panjang"
Di antara banyaknya waktu yang tercipta dalam sebuah kehidupan mungkin waktu malam yang menjadi favorit sebagian orang. Waktu yang diciptakan untuk menikmati indahnya ciptaan Sang Kuasa dan waktu yang diciptakan bagi insan untuk memberikan hak – hak tubuhnya dari segala angkuhnya kehidupan dunia. Waktu malam merupakan sebuah moment yang paling tepat untuk membiarkan pikiran menerawang kehidupan fase demi fase sambil menikmati rahmat dan anugrah dari Sang Pencipta, kita bisa menjelajah dan mengingat jauh dalam memori kita. Namun ada juga yang menikmati dunia malam dengan cara yang berbeda, dengan dunia hiburan yang serba glamour, dengan dunia bola yang dipenuhi teriakan pendukung tim idola, atau mungkin dengan terdiam, berpikir, sambil menyusun dan merangkaikan kata menjadi sebuah kalimat yang menarik. Setiap orang punya cara sendiri menikmati malam, termasuk bersimpuh dan berkomunikasi dengan Sang Pembolak balik hati.
Bagiku malam ini adalah waktu yang tepat untuk menikmati kegelisahan. Dia tak pernah bising, sesekali lafalkan sepi yang menggerogoti masa dan selalu hadir di antara pekat serta memberikan hitam di atas gemerlap sudut dunia, dan aku akan terus menjaga malam agar tetap gelap. Sekarang tak akan ku biarkan malam berjalan cepat. Biar tak perlu tergesa-gesa menyudahi hari. Agar tak terburu-buru menanggalkan angka. Supaya tak usah bersusah payah menelurkan kenangan.  Biarkan kita sama-sama merasakan diam yang paling sunyi. Tanpa harus ada mulut yang menganga. Tanpa ada ucapan mematikan. Tanpa riuh ramai suara. Hanya kita, aku dan malam panjang. Dia begitu tahu, malam ini sebenarnya aku ingin berteriak, aku ingin memaki, aku ingin marah. Sungguh aku ingin sekali marah, aku benar-benar ingin memaki, teramat ingin bisa berteriak sejadi-jadinya. Tetapi itu semua hanya sekedar ingin. Keinginan yang akhirnya tak bisa aku lakukan. Karena dia selalu melenyapkan keinginan itu bersama hening. Hening yang paling senyap yakni diam. Dia lalu terdiam, menatapku dengan pandangan kosong. Selalu saja begitu. Setiap malam. Aku benci tatapannya. Sungguh membuatku tak jadi ingin berteriak.
Tak jadi ingin memaki, tak jadi ingin marah, hanya ingin diam bersamanya. Bersama heningnya, bersama sunyinya dan tangisnya yang tak pernah bersuara. Malam ini dia kembali bersembunyi bersama gelap. Mengendap dalam lelap, memaksaku mengejar bintang di atas cakrawala yang mendung dan hamparan pekat yang tak ada ujung, gelap dan  hitam. Kini aku yang terdiam membisu. Mendekap malam bersamanya, bersembunyi dibalik gelapnya, dan tangis itu kian pecah membingarkan malam. Sekarang, tak akan ku biarkan malam berjalan cepat.
Biar tak perlu tergesa-gesa menyudahi hari karena siang pun tak sanggup lagi memberikanku pelangi. Biarkan hitam warnai langitku, biarkan bintang yang terangi langitku.
            Gelap sudah bergelayut disini, hujan menyisakan genangan genangan air dalam kolam - kolam kecil di halaman kos. Tapi aku masih saja mematung menepis kesunyian. Mulai ku julurkan telunjuk mengukir sisa - sisa bayangmu di atas kertas lusuh.  Aku lupa saat mulai membuat sketsa wajahmu karena semburat senja tadi menghalangiku menatap dirimu lebih lama. Ternyata memoriku jauh lebih kuat dari itu, bukan wajahmu yang aku lupa tapi seberapa lama aku mengenalmu yang aku lupa, karena jam dinding pun tak mau bercerita tentang sejak kapan ku tawarkan kehangatan itu pada.  
            Dengarlah aku akan bercerita tentang sekeping hati yang kusisakan untukmu. Benar, kau benar.. Sekeping hati itu tidak akan ku satukan pada sekeping hati yang masih rancu bagimu. Karena ada seonggok hati utuh yang telah kau genggam lebih dahulu. Tapi kenapa kau ragu? aku tidak akan memintamu memungut kepingan hati itu untukku. Aku hanya meminta kau biarkan saja kepingan hatiku berkelana sesuka hatinya sampai waktu menghentikan langkahnya. Tahukah kau, buah kata yang akan ku lantunkan di setiap sembah sujudku kepada Sang Pembolak balik hati. Ya tentu, tentu ada namamu, ada doa ketentraman dan kesehatan untukmu. Andai kau tahu, saat ini aku tidak pernah punya angan jauh bersamamu, dapat melihatmu tersenyum saja sudah melepaskan gundahku. Aneh memang, jangankan kau. Aku saja bingung dengan perasaanku. Aku tak ingin memiliki mu hari ini, tapi aku ingin kau tetap ada disini menjadi senandung tidurku. Biarlah sayapku kembang dengan bayangmu. Sungguh indah, benar - benar indah rasa ini.  
Tuhan memberikan aku sebuah rasa keikhlasan yang lebih kuat dari rasa inginku. Tuhan pun mengulurkan tanganNya dengan murah hati untuk menampung rasa yang telah aku titipkan padaNya. Aku tak pernah takut, aku tak pernah sedih, karena aku bukan seekor kukang yang selalu malu - malu menampakkan meganya. Aku adalah seekor semut yang akan selalu mengangkat beban jauh lebih berat tanpa mengutuk-ngutuk adam dan Tuhannya karena Tuhan memberikan aku sebuah rasa dengan keikhlasan yang tiada terkira.
            Indah, sungguh, dan rasa itu yang menuntunku untuk menepis kesendirian itu. Supaya kau tahu, aku tak sebejat itu. Tidak, aku tidak akan membagi sekeping hati yang telah aku sisakan untukmu kepada para pengembara baru yang mencoba untuk singgah dan berlabuh disana. Karena aku akan membiarkan sekeping hati itu tertanam dan mengakar hidup dalam semak-semak rindu yang terkadang berbuah dan berbunga atau terkadang hanya akan menjadi makanan ulat-ulat kecil saja.
Sekarang aku hanya ingin menjadi yang terbaik untuk diriku. Karena aku bukanlah manusia yang sempurna rupa, tapi aku hanya seseorang hamba sederhana yang mencintaimu dengan bersembunyi di balik doanya. Bukan disini aku menunggumu, bukan hari ini ingin aku memilikimu tapi nanti. Suatu hari jika torehan tinta takdir Sang Pencipta tergores bersamamu di mahligai keindahannya.
            Terima kasih untuk setiap rintisan rindu yang tumbuh kian rindang dan rimbun. Aku membiarkannya menjadi penyejuk di pelataran jiwa. Aku beranikan untuk menegaskan bahwa tak akan aku ijinkan siapapun memetik daun rindu ini. Biarkan ia bermekaran bersama bunga-bunga kasih.
Bergelut dengan aroma bening wajahmu yang membayang selalu. Untuk semua rindu yang aku rangkul dalam berat yang membebani. Untuk semua sketsa indah di malam-malam mimpiku. Semua berarus pada sebentuk kata penuh warna - warni rasa. Engkau seperti ramuan yang memberi aku kekuatan kepada kebimbangan yang tak kunjung berhenti untuk terus difikirkan. Namamu kian terukir menjadi nyata. Kepada bisu yang tak pernah bersuara walau hanya mengatakanya kepada angin, kau  benar-benar begitu tangguh diam dalam lipatan seribu bahasa.
            Pada semburat cemas yang memikirkanmu dalam diam. karena tanganku tak akan menyentuh, suara pun tak akan aku beranikan berbisik mengisi ruang kecil dalam telingamu.
Karena selaksa rindu itu kutahan dan kutangguhkan, semua aku semayamkan aku memupuknya supaya beranak pinak, melahirkan rasa yang bersahaja, merangkum setiap kisah – kisah, mengabadikanmu dalam penjara traili hatiku.
Sekali lagi pada sepi di bawah temaram malam, taukah kau sebagai temanku dalam bisik - bisik nada menyebut namanya. Hanya antara aku dan kau temaram malam yang tahu  aku meniti pada titah langkah memperpantas diri.
            Hari-hari menjadi tumpukan waktu merangkai pecahan-pecahan mozaik terserak yang kian menjadi teka-teki terbaca. Karena namamu terbaca untuk sebuah makna. Makna dalam penantian penuh kesungguhan hingga tiba waktunya Sang Pemilik Cinta mengikat kita dengan tali harapan.

Tidak ada komentar: