Jumat, 17 Oktober 2014

"SEPUCUK SURAT UNTUK IBU"


Sepucuk Surat Untuk Ibu
"Sepucuk Surat Untuk Ibu"
Apa kabar Ibu di sana? Untaian doa tak lelah kupersembahkan untuk Ibu. Harapku semoga Ibu selalu dalam lindungan Sang Khalik. Mungkin doaku tak sebanding dengan setiap deretan doa yang diukir untuk kesehatan dan ketegaran anak-anakmu di setiap helai nafas dan setiap detak jantungmu, doa yang mengiringi setiap langkahku, langkah kami dan langkah kita, doa yang menjadikanku seperti aku yang sekarang bukan dulu. Jarak membuat kita jauh namun aku merasakan kehadiranmu di setiap detak nadiku dan detik hidupku, karena Ibu selalu dekat di hatiku, dan aku bisa bertahan melewati hari demi hari di tanah asing ini. Tak ada kalimat panjang dan tak banyak ucapku untukmu, namun hanya maaf dan terima kasihku yang tak pernah cukup untuk Ibu.  Terlalu banyak luka yang aku torehkan di hati lembutmu. Aku yang keras kepala, aku yang pembangkang, tidak mau mendengar nasehatmu, bahkan mengabaikan perintahmu. Tak terhitung kata-kata kasar yang kuhujamkan padamu sampai bisa menjatuhkan air mata. Ibu, akankah kudapatkan surga? Bila surga itu berada tepat di bawah kakimu. Pantaskah aku, Ibu? Sementara terlalu banyak salah kubuat pada sosok malaikat tak berjuba pemilik kaki itu. Maafkan anakmu, Setelah semua yang Ibu lakukan untukku, sudah cukupkah balasan dariku? Tidak! Sampai akhir nafasku pun tidak akan pernah cukup aku membalasnya, meskipun aku tahu, tak pernah sedikitpun engkau mengharap balasan dari anak-anakmu. Maafkan aku yang belum sepenuhnya bisa membahagiakanmu, membahagiakan keluarga kita. Maafkan anakmu yang belum mampu mengabulkan permintaan Ibu. Hanya satu permintaan sederhana, selalu dekat dengan Ibu. Egoiskah aku, Ibu? Lebih memilih keinginanku sendiri, meninggalkan Ibu bersama ayah dan adik-adik, ke tanah asing ini demi cita dan asa. Semua ini hanya demi bisa menarik kembali kebahagiaan yang telah lama hilang dari keluarga kita. Terima kasih, Ibu, kaulah malaikatku. Malaikat yang rela meminjamkan rahimnya untuk kutinggali sebelum aku dapat merasakan pelukan dan cumbuan dunia. Malaikat yang mempertaruhkan nyawanya agar aku bisa melihat dunia, dunia yang semakin hari seakan pudar digerus arus globalisasi. Malaikat yang mencurahkan segenap cinta dan kasih sayangnya tanpa mengharap balas jasanya dalam merawatku, membesarkanku, mendidikku. Mengenang kembali yang telah berlalu, begitu lalu di ingatan, seperti angin tadi yang berhembus, membelai dan membiru mengelabu pada hati yang jadi rindu akan segala biru dan segala lakumu. Jika aku ingin mengenangmu, ingin merasakan kasih sayingmu, lalu jika aku ingin mendengar suaramu, ingin memelukmu, ibu seperti angin saja, bayangan yang indah setelah itu mengelabu di hatiku karena Ibu jauh.
Aku jadi menanti hari menghitung jari menari pada kanvas cintamu dalam permainan lagu irama tidurku yang selalu berdendang kala  itu, ketika kemanjaan jadi untukku saja, ketika kehangatan hanya untukku saja, ketika juga saat bisikan lembut menembus dinding pendengaran “ukir masa depan yang cemerlang di hari esokmu di atas awan, di atas derita masa lalu daan di atas perjuangan kita” begitu katamu. Rangkaian kata ini, kutuliskan betapa besar pengorbanan demi anak-anakmu, demi keluarga kita. Kini aku bisa memahami, betapa berartinya ibu dalam hidupku.
Terima kasih untuk setiap doamu. Tanpa doa-doa panjangmu, aku tidak mungkin bertahan di tempatku sekarang. Semua ini karena ada Ibu di setiap langkahku. Ribuan kata terima kasih tak kan cukup menggantikan semua yang telah Ibu lakukan. Aku sayang Ibu, dulu, sekarang, nanti dan selamanya.

Tidak ada komentar: