Selasa, 29 Juli 2014

PERGI UNTUK KEMBALI


Saat sang mentari mau pergi meninggalkan siang dan beranjak keperaduannya. Didepan pintu kamar diatas tempat duduk reot dan usang kau meluapkan segala emosi yang kau pendam. Tak ada percakapan yang kau ciptakan antara kau dan aku. Kau duduk dengan posisi menyerong kearah barat dan mulai mengguncang-guncangkan bahumu. Dalam beberapa menit kemudian tidak ada yang menyadari bahwa luapan air mata telah membasahi dan mewarnai pipimu, bahkan melunturkan bedak baby yang kau pakai. Kemudian di atas kasur lusuh  kau mainkan pena biru berkepala cokelat diatas kertas putih yang bersih. Coretanmu mengundang begitu banyak pilu yang tersalurkan lewat air mata.
Aku duduk di depan pintu kamar menatap para sahabat tengah beradu kekuatan dengan bola takrow di lapangan yang tak cukup luas.
Cahaya matahari menerobos lewat sela-sela dinding kamar yang terbuat dari seng. Aku menengadahkan wajah untuk terus bertahan dibawah sengatan mentari senjah.
Aku bahkan hanya duduk termangu dengan perasaan berkecamuk untuk menantikan sang mentari tenggelam dan berganti hari esok agar bisa mempersembahkan ruang permenungan akan selembar kertas penuh makna.
Tiba – tiba hati kecil berbisik dari dalam bahawa ada sesuatu yang aneh. Aku menghampirimu dengan perasaan biasa. Bagiku keadaanmu yang seperti ini bukanlah sesuatu yang harus kuawali dengan respon kaget disertai perhatian berlebihan.
Aku duduk diatas meja berwana biru yang tergeletak sebagai saksi bisu di hadapanmu. Wajahmu semakin kau tundukkan. Air mata itu perlahan lahan jatuh ke lantai, dengan sekali hentakan diatas meja kau meraih handphoneku dan mencopot kartunya lalu mematakan bagi dua kemudian dibuang.
Entahlah apa yang menjadikan semuanya seperti ini.
Secepat kilat terlintaslah dalam pikiran akan alasannya yakni yang kau mau aku harus mengantarkanmu ke pelabuhan dimana waktu itu detik – detik terakhir kebersamaan kita karena kau telah menyelesaikan stdudi DIII Kebidanan, tetapi karna aktifitasku yang terlalu padat sehingga secara terpaksa tidak mengijinkan aku tuk mengikuti keinginanmu. Kau takut hari esok datang dan membawaku pergi darimu. Aku maklumi saja, karena kita memang sepasang nyawa yang terus bersama hampir 3 tahun. Tidak heran bila perpisahan yang akan terjadi akan menimbulkan rasa sakit yang mendalam. Aku mengusap kepalamu dan melontarkan kata-kata penyemangat. Mungkin dalam hatimu menggerutu bahwa aku bisa dengan mudahnya mengatakan kalimat itu karena aku tidak merasakannya. Tapi tahukah kau? Kalau saat ini aku juga merasakan hal yang sama. Tapi tidak ada kalimat penyemangat darimu, kau hentakan roda kopor diatas lantai, mengencangkan jaket putih ke lekukan tubuhmu, dan melangkah pergi hanya dengan sebuah salam sederhana. Aku jadikan perpisahan ini  hanyalah sebuah perpisahan sederhana layaknya kau berangkat ke kampus.
Aku mencoba untuk tetap kuat disaat hari-hari yang kujalani hambar tanpa kehadiranmu disisiku. Setiap pagi yang menghampiriku aku lewati tanpa suaramu yang biasanya membangunkanku untuk mandi. Ketika kelopak mata kulebarkan, yang kudapatkan adalah tempat tidur yang masih tertata rapih tanpa ada tubuhmu yang meringkuk diatasnya, walau terdengar gila tapi setiap kali aku melihat tempat tidur itu aku selalu bernganggapan bahwa aku tengah melihatmu terbaring pulas dibawah selimut birumu yang tebal. Itu ku lakukan semata-mata agar aku tidak terlau larut dalam kesunyian.
Terkadang aku ingin menyalahan waktu, karena dia datang dan membawamu pergi bersamanya. Tapi aku tidak mungkin menyalahkan waktu karena waktu juga yang membawamu datang padaku dan membuka mataku bahwa kau adalah wanita berharga dalam hidupku. Aku terima setiap pemberian yang diberikan oleh waktu, entah itu berupa kepedihan dan kegembiraan. Aku juga ingin kau menerimanya dan tidak menyalahkan waktu saat esok datang dan membawaku pergi darimu.
Waktu adalah seonggok materi yang membawamu mengetahui semua yang tidak kau ketahui. Saat waktu datang dia akan memberikan semua yang telah diagendakan untukmu. Kau tidak mungkin mengelak karena waktu adalah jelmaan dari takdir. Kau hanya mampu menerimanya dengan dua pilihan, tersenyum dan menangis. Pasrah bukanlah satu-satunya jalan untuk menerima kehadiran waktu, ikutlah skenarionya dan jangan pernah mencoba untuk membantah. Pemberian waktu tidak akan jauh dari kebahagiaan dan kepedihan, bila waktu memberimu kepedihan lebih dulu maka bertahanlah untuk mendapatkan kebahagiaan. Tapi bila waktu melemparkan kebahagiaan diawal kita bertemu maka bersiaplah karena waktu akan membawamu pada kesedihan.
Aku melontarkan sebuah pertanyaan yang sudah ku ketahui jawabannya, hanya saja aku ingin memastikan. Kau menggeleng sebagai pertanda bahwa kau baik-baik saja. Aku tersenyum mendengar jawaban itu, karena begitu banyak kebohongan yang kau tutupi dibalik barisan kalimat yang baru saja kau katakan. Aku mendengus mengerti. Sinar matahari tidak berani meneroboskan cahayanya kedalam ruangan yang memuat seluruh kepedihanmu. Di dalam kamar, kau menumpahkan bobot tubuhmu diatas kasur. Ditemani setan kesunyian kau mulai mengeluarkan suara tangismu dihadapanku. Dalam hati aku bertanya, separah itukah kau meninggalkanku? Lama-kelamaan suara tangismu makin meninggi. Aku menenangkanmu dengan berkata bahwa belum waktunya kita akan bersama selamanya karena masa depan belum tentu setuju akan kebersamaan kita. Namun kau mulai merintih.
Aku berkata lagi, belajarlah untuk hidup tanpa aku agar saat waktu memisahkan kita untuk selamanya kau telah mampu untuk berdiri diatas kakimu sendiri. Kau menggeleng hebat sambil mengucapkan, “Susah!”Aku tertawa mendengar responmu. Kau menatapku dengan bola mata yang merah berlapiskan air bening yang terus menerus turun tanpa ada rem yang menahannya. Matamu mengatakan padaku bahwa kau begitu sulit untuk melepaskanku meski pada akhirnya aku akan kembali menemanimu disisi. “Kebersamaan yang kita lalui kurang lebih 3 tahun hanya akan menjadi kenangan paling indah dimasa depan. Biarkanlah semua berjalan sesuai rencana. Jangan terlalu terpengaruh pada desakan waktu yang terus menerus membuatmu terpuruk dan tersungkur. Bertahanlah dan mencobalah untuk tetap hidup meski aku jauh darimu.
Kau seharusnya menjadikan momen ini sebagai kesempatan untuk belajar memulai aktivitas tanpa bantuanku. Aku sadar untuk melakukan itu semua kau butuh kekuatan dan ketegaran, tapi aku yakin kau mampu melakukannya. ”Aku berkata sambil meremas kedua tanganmu. Semburat kesedihan yang kupancarkan tertangkap oleh sinyalmu, kau menatapku dengan perasaan bersalah tapi aku menggeleng pelan. Kesedihan ini bukan karena kesalahanmu. Teruslah menangis bila dengan cara itu kau mampu mengumpulkan kekuatanmu.
“Kau tahu? Semua yang pernah kita lalui hanyalah sebuah pengalaman yang biasa saja dimata sang waktu. Tapi teruslah kita untuk mewujudkan lebih banyak lagi kenangan. Kegembiraan yang pernah kita hadirkan begitu ‘murahnya’ bila dibandingkan dengan sesuatu yang dimiliki waktu.”Kataku padamu. Kau tersenyum lirih sembari menatap bola mataku. Kita saling menatap hingga desiran nafas pun terdengar.
Kau menarik nafas sedalam mungkin dan mengusap satu tetes air mata yang hendak jatuh dari ujung matamu. Hingga sesuatu menyambar pikiranmu dan membuatmu kembali terisak didepanku. Aku kaget melihat reaksimu tapi aku mencoba untuk bersikap biasa. “Sudahlah. Anggap saja kau masih disini bersamaku. Kepergianmu bukanlah sesuatu yang perlu ditangisi. Bergembiralah karena kau akan bertemu dengan keluargamu. Seharusnya rasa senangmu bisa mengubah air matamu menjadi senyuman paling indah didunia. Tapi kebahagiaan yang kau rasakan tak bisa menular padaku dikarenakan begitu besarnya tembok yang kau buat untuk menangkis segala macam perangsang senyuman. Aku mengerti usahamu. Satu pinta yang ingin kukatakan padamu, bersikaplah dewasa, masa perjalanan kita masih panjang. Jangan terlalu cepat jatuh dan terpuruk diatas tanah hitam. Aku sayang padamu.”
Kau berlari kearahku. Peluh matamu makin membanjiri kearah dagumu. Aliran itu makin menderas mengiri langkah pendekmu kearahku.“Berdiri!”Pintamu. Aku menggeleng. Aku tahu kau ingin memelukku. Aku menolak. Pelukan bukanlah solusi utama untuk meninggalkan seseorang. Aku tersenyum melihat peluh matamu yang tak mau diajak berkompromi dengan argumenku.
“Biarkan aku memelukmu.” Ucapmu lirih. Dibawah remang-remang lampu itu kau memohon padaku. Aku tetap kukuh untuk tidak berpelukan, karena bagiku pelukan merupakan salah suatu cara untuk melepaskan seseorang yang tak akan kembali. Apakah kau tak mau kembali? Peluklah aku hanya dalam mimpimu. Hapus peluh itu dan tersenyumlah karena aku bahagia. ”Kataku pelan sembari melepaskan genggaman tanganmu di jaket hitamku. Ketahuilah suatu hari nanti semuanya akan menjadi indah. 

Tidak ada komentar: