Perjalanan hidup seorang manusia tidaklah mulus, akan tetapi
banyak sekali lika – liku yang datang silih berganti dan terus menggerogoti perjalanan sejarah hidup manusia pada umumnya.
Peristiwa hidup yang
dialami tentu memiliki banyak fariasi yang tidak muda tuk dilupakan bagi siapapun
yang sedang menjalani siarah hidup di jagat yang penuh gejolak ini. Berbagai
banyak polemik dan distorsi terus menghampiri manusia. Seringkali banyak
penyesalan yang dirasakan, kemudian secara tak sengaja mengatakan Tuhan sebagai
pemberi nafas kehidupan tidak bijak dan adil.
Maka dari itu ku coba tuangkan lewat lembaran kusam ini sepenggal
peristiwa yang tidak akan pernah sirna
dari pikiran ini sebagai sebuah bentuk kecintaan akan peristiwa silam yang pada
akhirnya mampu mengajarkan aku tentang arti hidup sesungguhnya.
Masih terlintas di ingatan ini bermula dari tanggal 18 Desember
2013, setelah sekian lama bergulat dengan berbagai aktifitas sebagai seorang
mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Veteran Republik
Indonesia Program studi Sejarah, tepatnya di kota Daeng/Angin Mamiri (Makassar),
tiba saatnya yang dinantikan yakni liburan Natal, kesempatan melepas lelah
dihari-hari penuh beban.
Ingatan akan kampung halaman Lamahoda tempat kelahiranku
serta keluarga khususnya pangeran kesatria dan malaikat tak berjuba alias Ayah
dan ibu terus menerawang sembari mengajakku untuk kembali. Sebuah kerinduan
yang tidak bisa terukur besarnya akan
Ibunda tersayang yang suda sekian lama berkecamuk di akal dan jiwa ini.
Ku rasa inilah saat yang tepat untuk menghentikan desakan
kerinduan dengan kembali memandang tubuh yang kusut itu. Tentu kesepamtan ini
tidak dibiarkan berlalu pergi begitu saja maka alternatif satu-satunya yaitu
pulang kampung.
Setelah 18 jam lamanya berlayar mengarungi samudera dengan
KM. Bukit Siguntang sampailah di pulau bunga tepatnya di pelabuhan Maumere
(Sika), namun perjalan masi sangat panjang untuk bisa tiba di tanah kelahiran
Lamahoda (Adonara). Rasanya ingin secepat mungkin sampai di tempat tujuan.
Perjalan pun dilanjutkan dengan menumpangi Bus Maumere –
Larantuka dengan memakan waktu 4 jam lamanya untuk bisa sampai di larantuka.
Setelah 4 jam lamanya diobrak-abrik dengan kondisi jalanan
yang cukup ekstrim dan menantang akirnya tibalah bus di kota Renya Larantuka.
Tanpa berlama-lama lagi kakipun lansung melangka menuju ke
tempat penyebrangan Pantai Palo - Tanah Merah (Adonara) kira-kira 10 menit
lamanya.
Dengan waja yang berseri bagai kejatuhan bulan serta nafas
yang legah, ku ayunkan langka berirama senandung malam sembari melafalkan kata
tak bersuara dalam hati “ Selamat datang tanahku Nusa Tadon Adonara”.
Udara dingin menyelimuti tanah Adonara menghadirkan
sepenggal pertanyaan apakah ini pertanda sirnanya permusuhan dan hadirnya
perdamaian? Entalah…
Sekilas mata memandang berdiri dihadapanku Ayahanda yang
ingin menjemputku untuk melanjutkan perjalanan ke rumah, kampung Lamahoda (
Adonara ). Perasaan senang meluap dari bibir ini dengan ucapan terima kasih
serta jabatan tangan penuh kerinduan. Tanpa menyia-nyiakan waktu perjalanan
panjangpun dilanjutkan.
Setelah kampung demi kampung dilewati, dari kejauhan
terlihat rumah bercat kuning di ujung deretan rumah-rumah warga seakan
tersenyum menyambut kedatangan penghuninya yang suda sekian lama pergi mencari
seberkas harapan dan seribu kepastian sebagai dambaan keluarga.
Tanpa sedu sedan kaki mengayun berpadu dalam kepastian
menginjaki anak tangga rumah, tiba-tiba aku dikagetkan suara nan lembut dari
bibir tipis yang polos ibunda tersayang dengan sapaan manja penuh kegembiraan
seakan-akan mampu menyibakan tirai-tirai kesunyian malam sembari merangkulku
dengan dekapan kasih sayang yang tidak bisa dirangkaikan lewat kata-kata.
Setelah beberapa menit bercerita bersama kedua orang tua,
kata pamitpun mengiringi tidur di malam itu. Aku pun langsung merebahkan badan
di atas kasur lusuh dengan penuh harapan secepatnya semburat bola api
kemerah-merahan bertengger di atas cakrawala ujung timur agar bisa melakukan
aktifitas sebagaimana biasanya ketika berada di rumah.
Hari demi hari terus begulir seiring dengan pergantian
kalender masa, tibalah suatu hari yang tidak diduga, rasanya tidak seindah dan
senyaman hari – hari biasanya yang sampai saat ini tidak bisa hilang dari akal.
Saat itu suasana Lamahoda dibaluti dengan kebisingan nada
ponsel dan tawa ria menjelang Hari Raya Natal, kelahiran Sang Juru Selamat
untuk umat Khatolik. Mungkin orang- orang yang ada di belahan bumi lain pun
merasakan kegembiraan yang sangat luar biasa tetapi tidak bagi ku.
Semua kegembiraan yang ku rasakan lenyap seketika ketika
dihantam dengan peristiwa yang sungguh menyayat hati tepatnya taggal 23
Desember 2013 seiring dengan sang mentari kembali ke peraduannya. Ibunda yang
menjadi kekuatanku mengalami ganguan jasmani atau jatuh sakit. Ketika
kekuatanku mengalami peristiwa seperti ini maka dengan sendirinya aku pun tak
lagi tegar setegar hari-hari sebelumnya ketika ibunda masih sehat. Rasa sedih
dan takut kehilangan terus menghampiri dan menghantui naluriku, rasa gugup,
lemah lunglai tak berdaya, serta merasa kebingungan entah apa yang harus aku
lakukan semuanya bercampur aduk jadi satu, namun di sisi lain ada perasan yang
mengatakan bahwa sakit yang dideritanya hanyalah sakit biasa-biasa saja.
Aktifitas yang lain tidak dihiraukan lagi selain hanya ingin
selalu berada disampingnya. Sahabat-sahabatku dengan senangnya merayakan hari
raya bersama keluarga yang nota benenya sehat-sehat selalu tidak akan bisa
membuatku pergi dari sisi ibunda. Berbagai banyak hal yang aneh seakan menjadi
iblis dan terus menggerogoti akalku.
Hari demi hari kondisi ibunda tidak kunjung sembuh, kondisi
tubuhnya semakin parah, wajanya pun pucat, entalah penyakit apa yang diderita
dan apa yang menjadi penyebabnyapun tidak diketahui secara jelas.
Suatu hal yang membuat aku menjatuhkan air mata tepatnya
tangal 27 Desember 2013 di pagi hari yaitu
sekujur tubuhnya tidak bisa bergerak atau kaku di atas tempat tidur, dia hanya
bisa memandangiku namun tak bisa berkata-kata seakan membisu. Sesendok nasi dan
sepercik air pun tidak bisa membasahi kerongkongannya karena mulut pun tetap
terkatup rapat. Suasana disaat itu menjadi gemuru, lantunan doa tak bersuara
terus kupanjatkan kepada Sang pemberi hidup semoga bisa menguatkan ibunda.
Ketika hari menjelang malam diiringi dengan suara jengkrik
yang seakan – akan terdengar turut merasakan kesedihan yang ku rasakan,
berbagai keluhan serta pertanyaan terus bergumam di dalam hati tentang alasan
mengapa sehingga penderitan ini tak mau jauh dari perasaan ini, apa salah dan
dosa keluargaku.
Ku coba menghampiri dan mengajaknya tuk bercerita namun tidak
ada sepata kata pun yang keluar dari mulutnya, bukan kata yang menjadi jawaban
atas semua tanyaku melainkan hanyalah tetesan air mata membsahi pipinya.
Suasana malam semakin larut diselubungi dengan kesedihan
yang semakin menjadi. Tak terasa air mataku pun perlahan lahan mulai menetes
tak terbendung lagi. Tidak ada pilihan lain selain berpelukan bersama ibunda.
Rasanya ingin berteriak sekuat mungkin biar seluruh penghuni jagat rayat tahu
kalau aku tak mau kehilangan sang ibunda.
Rasa takut dan gelisa mulai menggerogoti akalku, pikiran
akan terjadinya hal-hal yang sungguh menyakitkan seakan-akan menerawang mejauh
mengitari langit ke tujuh.
Di malam itu aku menghabiskan waktu hanya untuk berada di sampingnya hingga sang
mentari kembali mennyinari bumi namun hatiku tak secarah mentari karena kondisi
ibunnda tidak kunjung membaik. Melihat kondisi seperti ini, kepanikan terus
merajah lelah, perutku mulai merasa lapar tetapi tidak ku hiraukan karena
ibunda juga tak membuka mulutnya.
Setelah dua hari lamanya
terlintas di pikiran ini dengan inisiatif sendiri untuk membeli obat tetapi
sayangnya uang yang digunakan yaitu sisa uang waktu pulang dari Makassar yang
secara kebetulan masih tersimlpan di dalam dompetku. Walaupun dengan sedikit
uang aku pun langsung pergi untuk
membeli obat yang letaknya cukup jauh dari
ruma yakni di kampung tetangga. Setelah pulang di rumah aku berusaha membangunkan
ibunda tetapi pikiranku pastinnya dia tidak bisa minum obat tersebut karena sudah dua hari perutnya keroncong. Ayahanda
mencoba merayunya untuk bisa makan namun masih
saja mulutnya tetap terkatup rapat seolah tak mau makan. Kata demi kata
dibisikan pada telinnga ibunda guna mengelabuhi agar bisa makan namun usaha
hanya sia-sia. Terlihat ayahanda mulai kebingungan mencari akal untuk mengambil
hatinya ibunda. Tidak lama kemudian ayahanda pun tidak bisa menahan air matanya
maka suasana rumah langsung diiringi dengan suarah tangisan kami bertiga
sembari berpelukan meratapi nasip ibunda.
Melihat kondisi ibunda seperti itu, ayahanda pun langsung
keluar dari kamar tersebut, mungkin tak ingin berlama – lama di dalam kamar
karena takut ibunda kepikiran.
Setelah itu aku mencoba menenangi hati ibunda dengan
membelai tubuhnya seraya mengucapkan kata keluhan dengan bisikan lembut
ketelinganya “Mama,, Mo petenek esi dihala, sekarang ni teloket Bapa mehaket
hena, Kakak arik rua waike si ata eking hena, nage bapa juga na mete sibuka
kerja jadi mungkin cuma goe mehak yang bisa jagano. “Mama,, Mo bera ma’an onem
kuat ti bera ne melano supaya hogo bauk go pana kai lanjut sewa olhak kelekatek
lau ata eking hae di onek ne penaha kedepa, onek akene kurang mama…
“Sekarang ni go letako tutu mering ahe yang mungkin si onem
gere yang senang hala atau pahang onem hala, supaya go bisa koi denge ti ina
ranang no ama ranang mari onet”.
Secarah tak sadar ibunda pun menangis dengan membisikan kata
yang kedengarannya tidak begitu jelas, tetapi yang sempat terdengar yaitu
ibunda menyuruhku menyiapkan pakiannya untuk pergi menemui cucunya dari kakak
pertamaku yang berada di Kota Ende. Mendengar hal itu aku pun langsung bisa
mengetahui bahwa mungkin sakit yang berkepanjangan ini salah satunnya juga
merupakan pendeskripsian dari rasa rinduhnya pada seorang cucu yang sudah lama terselubung jauh di
dasar kalbunya.
Semenjak itu hatiku
sudah agak merasakan kelegahan namun tidak secara total. Aku mengiakan
apa yang menjadi keinginannya, agar bisa meyakinkan aku menjawab dengan suarah
lembut “Mama,, nake mo buano hala terus mai ni nae erem pira nage melano mama”.
Setelah itu ku coba mendekatinya seraya menyodorkan sesendok
nasi ke mulutnya dan secara mengejutkan mulut yang sebelumnya tertutup
rapat kini sudah bisa terbuka walaupun nasi yang dimakannya mungkin
tidak membuatnya merasa kenyang. Setelah itu obat yang sebelumnya tidak diminum
akhirnya diminum juga.
Semenjak itu keadaan ibunda perlahan-lahan makin membaik. Suasana
yang sebelumnya dibaluti dengan kesedihan sedikit demi sedikit berubah menjadi seperti yang dulu lagi. Mungkin
inilah bukti bahwa Tuhan masih berpihak pada keluargaku.
Hari demi hari terus bergulir aktifitas biasanya terus ku
jalani namun di sisi lain masa depan pun terus menuntut untuk secepatnya
kembali ke Kota Daeng demi merai selembar kertas penuh makna serta pena antik
yang berairkan tinta emas tuk mengukirnya.
Walaupun hati ini rasanya tak mau jauh dari sisi ibunda
serta keluarga tetapi demi masa depan terpaksa hati harus merelakannya.
Akhirnya pada tanggal 4 januari 2014 aku bersama ibunda
berangkat meninggalkan ayahanda sendirian di rumah tapi sayangnya aku dan
ibunda harus berpisah karena ibunda harus pergi ke Kota Ende menemui cucunya
dan aku harus kembali ke Kota Daeng tuk menyelesaikan kuliah.
Jalan hidup ini seumpama rel kereta api dalam eksperimen
relativitas Einstein, maka pengalaman-pengalaman yang menggempur kita dari
waktu ke waktu adalah cahaya yang melesat-melesat dalam gerbong di atas rel
tersebut.
Relativitasnya berupa seberapa banyak kita mengambil
pelajaran dari pengalaman yang dialami.
Analogi eksperimen tak lain, karena kecepatan cahaya
bersifat sama dan absolut, dan waktu relativ tergantung kecepatan gerbong. Maka
pengalaman yang sama dapat menimpa siapa saja, namun sejauh mana dan secepat
apa pengalaman yang sama tersebut memberi pelajaran pada seseorang, hasilnya akan
berbeda relativ satu sama lain.
Banyak orang
yang panjang pengalamannya tapi tak kunjung belajar, namun tak jarang
mencerahkan sepanjang hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar