Selasa, 29 Juli 2014

" JERITAN HATI EDDI

Perjalanan hidup seorang manusia tidaklah mulus, akan tetapi banyak sekali lika – liku yang datang silih berganti dan terus menggerogoti  perjalanan sejarah hidup manusia pada umumnya.
 Peristiwa hidup yang dialami tentu memiliki banyak fariasi yang tidak muda tuk dilupakan bagi siapapun yang sedang menjalani siarah hidup di jagat yang penuh gejolak ini. Berbagai banyak polemik dan distorsi terus menghampiri manusia. Seringkali banyak penyesalan yang dirasakan, kemudian secara tak sengaja mengatakan Tuhan sebagai pemberi nafas kehidupan tidak bijak dan adil.
Maka dari itu ku coba tuangkan lewat lembaran kusam ini sepenggal  peristiwa yang tidak akan pernah sirna dari pikiran ini sebagai sebuah bentuk kecintaan akan peristiwa silam yang pada akhirnya mampu mengajarkan aku tentang arti hidup sesungguhnya.
Masih terlintas di ingatan ini bermula dari tanggal 18 Desember 2013, setelah sekian lama bergulat dengan berbagai aktifitas sebagai seorang mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Veteran Republik Indonesia Program studi Sejarah, tepatnya di kota Daeng/Angin Mamiri (Makassar), tiba saatnya yang dinantikan yakni liburan Natal, kesempatan melepas lelah dihari-hari penuh beban.
Ingatan akan kampung halaman Lamahoda tempat kelahiranku serta keluarga khususnya pangeran kesatria dan malaikat tak berjuba alias Ayah dan ibu terus menerawang sembari mengajakku untuk kembali. Sebuah kerinduan yang tidak bisa terukur besarnya  akan Ibunda tersayang yang suda sekian lama berkecamuk di akal dan jiwa ini.
Ku rasa inilah saat yang tepat untuk menghentikan desakan kerinduan dengan kembali memandang tubuh yang kusut itu. Tentu kesepamtan ini tidak dibiarkan berlalu pergi begitu saja maka alternatif satu-satunya yaitu pulang kampung.
Setelah 18 jam lamanya berlayar mengarungi samudera dengan KM. Bukit Siguntang sampailah di pulau bunga tepatnya di pelabuhan Maumere (Sika), namun perjalan masi sangat panjang untuk bisa tiba di tanah kelahiran Lamahoda (Adonara). Rasanya ingin secepat mungkin sampai di tempat tujuan.
Perjalan pun dilanjutkan dengan menumpangi Bus Maumere – Larantuka dengan memakan waktu 4 jam lamanya untuk bisa sampai di larantuka.
Setelah 4 jam lamanya diobrak-abrik dengan kondisi jalanan yang cukup ekstrim dan menantang akirnya tibalah bus di kota Renya Larantuka.
Tanpa berlama-lama lagi kakipun lansung melangka menuju ke tempat penyebrangan Pantai Palo - Tanah Merah (Adonara) kira-kira 10 menit lamanya.
Dengan waja yang berseri bagai kejatuhan bulan serta nafas yang legah, ku ayunkan langka berirama senandung malam sembari melafalkan kata tak bersuara dalam hati “ Selamat datang tanahku Nusa Tadon Adonara”.
Udara dingin menyelimuti tanah Adonara menghadirkan sepenggal pertanyaan apakah ini pertanda sirnanya permusuhan dan hadirnya perdamaian? Entalah…
Sekilas mata memandang berdiri dihadapanku Ayahanda yang ingin menjemputku untuk melanjutkan perjalanan ke rumah, kampung Lamahoda ( Adonara ). Perasaan senang meluap dari bibir ini dengan ucapan terima kasih serta jabatan tangan penuh kerinduan. Tanpa menyia-nyiakan waktu perjalanan panjangpun dilanjutkan.
Setelah kampung demi kampung dilewati, dari kejauhan terlihat rumah bercat kuning di ujung deretan rumah-rumah warga seakan tersenyum menyambut kedatangan penghuninya yang suda sekian lama pergi mencari seberkas harapan dan seribu kepastian sebagai dambaan keluarga.
Tanpa sedu sedan kaki mengayun berpadu dalam kepastian menginjaki anak tangga rumah, tiba-tiba aku dikagetkan suara nan lembut dari bibir tipis yang polos ibunda tersayang dengan sapaan manja penuh kegembiraan seakan-akan mampu menyibakan tirai-tirai kesunyian malam sembari merangkulku dengan dekapan kasih sayang yang tidak bisa dirangkaikan lewat kata-kata.
Setelah beberapa menit bercerita bersama kedua orang tua, kata pamitpun mengiringi tidur di malam itu. Aku pun langsung merebahkan badan di atas kasur lusuh dengan penuh harapan secepatnya semburat bola api kemerah-merahan bertengger di atas cakrawala ujung timur agar bisa melakukan aktifitas sebagaimana biasanya ketika berada di rumah.
Hari demi hari terus begulir seiring dengan pergantian kalender masa, tibalah suatu hari yang tidak diduga, rasanya tidak seindah dan senyaman hari – hari biasanya yang sampai saat ini tidak bisa hilang dari akal.
Saat itu suasana Lamahoda dibaluti dengan kebisingan nada ponsel dan tawa ria menjelang Hari Raya Natal, kelahiran Sang Juru Selamat untuk umat Khatolik. Mungkin orang- orang yang ada di belahan bumi lain pun merasakan kegembiraan yang sangat luar biasa tetapi tidak bagi ku.
Semua kegembiraan yang ku rasakan lenyap seketika ketika dihantam dengan peristiwa yang sungguh menyayat hati tepatnya taggal 23 Desember 2013 seiring dengan sang mentari kembali ke peraduannya. Ibunda yang menjadi kekuatanku mengalami ganguan jasmani atau jatuh sakit. Ketika kekuatanku mengalami peristiwa seperti ini maka dengan sendirinya aku pun tak lagi tegar setegar hari-hari sebelumnya ketika ibunda masih sehat. Rasa sedih dan takut kehilangan terus menghampiri dan menghantui naluriku, rasa gugup, lemah lunglai tak berdaya, serta merasa kebingungan entah apa yang harus aku lakukan semuanya bercampur aduk jadi satu, namun di sisi lain ada perasan yang mengatakan bahwa sakit yang dideritanya hanyalah sakit biasa-biasa saja.
Aktifitas yang lain tidak dihiraukan lagi selain hanya ingin selalu berada disampingnya. Sahabat-sahabatku dengan senangnya merayakan hari raya bersama keluarga yang nota benenya sehat-sehat selalu tidak akan bisa membuatku pergi dari sisi ibunda. Berbagai banyak hal yang aneh seakan menjadi iblis dan terus menggerogoti akalku.
Hari demi hari kondisi ibunda tidak kunjung sembuh, kondisi tubuhnya semakin parah, wajanya pun pucat, entalah penyakit apa yang diderita dan apa yang menjadi penyebabnyapun tidak diketahui secara jelas.
Suatu hal yang membuat aku menjatuhkan air mata tepatnya tangal 27 Desember 2013 di pagi hari  yaitu sekujur tubuhnya tidak bisa bergerak atau kaku di atas tempat tidur, dia hanya bisa memandangiku namun tak bisa berkata-kata seakan membisu. Sesendok nasi dan sepercik air pun tidak bisa membasahi kerongkongannya karena mulut pun tetap terkatup rapat. Suasana disaat itu menjadi gemuru, lantunan doa tak bersuara terus kupanjatkan kepada Sang pemberi hidup semoga bisa menguatkan ibunda.
Ketika hari menjelang malam diiringi dengan suara jengkrik yang seakan – akan terdengar turut merasakan kesedihan yang ku rasakan, berbagai keluhan serta pertanyaan terus bergumam di dalam hati tentang alasan mengapa sehingga penderitan ini tak mau jauh dari perasaan ini, apa salah dan dosa keluargaku.
Ku coba menghampiri dan mengajaknya tuk bercerita namun tidak ada sepata kata pun yang keluar dari mulutnya, bukan kata yang menjadi jawaban atas semua tanyaku melainkan hanyalah tetesan air mata membsahi pipinya.
Suasana malam semakin larut diselubungi dengan kesedihan yang semakin menjadi. Tak terasa air mataku pun perlahan lahan mulai menetes tak terbendung lagi. Tidak ada pilihan lain selain berpelukan bersama ibunda. Rasanya ingin berteriak sekuat mungkin biar seluruh penghuni jagat rayat tahu kalau aku tak mau kehilangan sang ibunda.
Rasa takut dan gelisa mulai menggerogoti akalku, pikiran akan terjadinya hal-hal yang sungguh menyakitkan seakan-akan menerawang mejauh mengitari langit ke tujuh.
Di malam itu aku menghabiskan waktu  hanya untuk berada di sampingnya hingga sang mentari kembali mennyinari bumi namun hatiku tak secarah mentari karena kondisi ibunnda tidak kunjung membaik. Melihat kondisi seperti ini, kepanikan terus merajah lelah, perutku mulai merasa lapar tetapi tidak ku hiraukan karena ibunda juga tak membuka mulutnya.
Setelah dua  hari lamanya terlintas di pikiran ini dengan inisiatif sendiri untuk membeli obat tetapi sayangnya uang yang digunakan yaitu sisa uang waktu pulang dari Makassar yang secara kebetulan masih tersimlpan di dalam dompetku. Walaupun dengan sedikit uang aku pun langsung  pergi untuk membeli obat yang letaknya cukup jauh  dari ruma yakni di kampung tetangga. Setelah pulang di rumah aku berusaha membangunkan ibunda tetapi pikiranku pastinnya dia tidak bisa minum obat tersebut  karena sudah dua hari perutnya keroncong. Ayahanda mencoba merayunya untuk bisa makan namun masih  saja mulutnya tetap terkatup rapat seolah tak mau makan. Kata demi kata dibisikan pada telinnga ibunda guna mengelabuhi agar bisa makan namun usaha hanya sia-sia. Terlihat ayahanda mulai kebingungan mencari akal untuk mengambil hatinya ibunda. Tidak lama kemudian ayahanda pun tidak bisa menahan air matanya maka suasana rumah langsung diiringi dengan suarah tangisan kami bertiga sembari berpelukan meratapi nasip ibunda.
Melihat kondisi ibunda seperti itu, ayahanda pun langsung keluar dari kamar tersebut, mungkin tak ingin berlama – lama di dalam kamar karena takut ibunda kepikiran.
Setelah itu aku mencoba menenangi hati ibunda dengan membelai tubuhnya seraya mengucapkan kata keluhan dengan bisikan lembut ketelinganya “Mama,, Mo petenek esi dihala, sekarang ni teloket Bapa mehaket hena, Kakak arik rua waike si ata eking hena, nage bapa juga na mete sibuka kerja jadi mungkin cuma goe mehak yang bisa jagano. “Mama,, Mo bera ma’an onem kuat ti bera ne melano supaya hogo bauk go pana kai lanjut sewa olhak kelekatek lau ata eking hae di onek ne penaha kedepa, onek akene kurang mama…
“Sekarang ni go letako tutu mering ahe yang mungkin si onem gere yang senang hala atau pahang onem hala, supaya go bisa koi denge ti ina ranang no ama ranang mari onet”.
Secarah tak sadar ibunda pun menangis dengan membisikan kata yang kedengarannya tidak begitu jelas, tetapi yang sempat terdengar yaitu ibunda menyuruhku menyiapkan pakiannya untuk pergi menemui cucunya dari kakak pertamaku yang berada di Kota Ende. Mendengar hal itu aku pun langsung bisa mengetahui bahwa mungkin sakit yang berkepanjangan ini salah satunnya juga merupakan pendeskripsian dari rasa rinduhnya pada seorang  cucu yang sudah lama terselubung jauh di dasar kalbunya.
Semenjak itu hatiku  sudah agak merasakan kelegahan namun tidak secara total. Aku mengiakan apa yang menjadi keinginannya, agar bisa meyakinkan aku menjawab dengan suarah lembut “Mama,, nake mo buano hala terus mai ni nae erem pira nage melano mama”.
Setelah itu ku coba mendekatinya seraya menyodorkan sesendok nasi ke mulutnya dan secara mengejutkan mulut yang sebelumnya  tertutup  rapat kini sudah bisa terbuka walaupun nasi yang dimakannya mungkin tidak membuatnya merasa kenyang. Setelah itu obat yang sebelumnya tidak diminum akhirnya diminum juga.
Semenjak itu keadaan ibunda perlahan-lahan makin membaik. Suasana yang sebelumnya dibaluti dengan kesedihan sedikit demi sedikit  berubah menjadi seperti yang dulu lagi. Mungkin inilah bukti bahwa Tuhan masih berpihak pada keluargaku.
Hari demi hari terus bergulir aktifitas biasanya terus ku jalani namun di sisi lain masa depan pun terus menuntut untuk secepatnya kembali ke Kota Daeng demi merai selembar kertas penuh makna serta pena antik yang berairkan tinta emas tuk mengukirnya.
Walaupun hati ini rasanya tak mau jauh dari sisi ibunda serta keluarga tetapi demi masa depan terpaksa hati harus merelakannya.
Akhirnya pada tanggal 4 januari 2014 aku bersama ibunda berangkat meninggalkan ayahanda sendirian di rumah tapi sayangnya aku dan ibunda harus berpisah karena ibunda harus pergi ke Kota Ende menemui cucunya dan aku harus kembali ke Kota Daeng tuk menyelesaikan kuliah.
Jalan hidup ini seumpama rel kereta api dalam eksperimen relativitas Einstein, maka pengalaman-pengalaman yang menggempur kita dari waktu ke waktu adalah cahaya yang melesat-melesat dalam gerbong di atas rel tersebut.
Relativitasnya berupa seberapa banyak kita mengambil pelajaran dari pengalaman yang dialami.
Analogi eksperimen tak lain, karena kecepatan cahaya bersifat sama dan absolut, dan waktu relativ tergantung kecepatan gerbong. Maka pengalaman yang sama dapat menimpa siapa saja, namun sejauh mana dan secepat apa pengalaman yang sama tersebut memberi pelajaran pada seseorang, hasilnya akan berbeda relativ satu sama lain.
          Banyak orang yang panjang pengalamannya tapi tak kunjung belajar, namun tak jarang mencerahkan sepanjang hidup.

Tidak ada komentar: