“Janganlah
mencintai dengan akal, walaupun cinta itu butuh logika.
Tapi mencintailah dengan perasaan karena perasaan itu berasal
dari hati.
Jika perasaan itu timbul karena
akal maka yang ada adalah akal akalan.
Maka yang hadir adalah
kelukaan. Maka yang tersisa adalah kesedihan”
*(Watowuan
Tyno)*
Matematika
memiliki rumus, tetapi cinta tidak memiliki rumus, setiap orang mempunyai
persepsi masing–msing tentang cinta, maka bertolak dari sebuah pengalaman
pribadi, saya mencoba menuangkan segala apa yang saya rasakan lewat goresan
pena dan secarik kertas yang tak berharga, terkadang segala sesuatu yang
dianggap tak berharga pun akan menjadi sesuatu yang sangat bermakna ketika
hakikat dari sebuah makna yeng terkandung didalamnya menyentuh dan menusuk
kalbu.
Berbicara
persoalan rasa maka kita berbicara persoalan hati, dan berbicara persoalan
hati, maka kita berbicara persoalan cinta, sehingga rasa itu sendiri akan
identik dengan cinta. Begitu banyak arti atau makna yang ditelorkan oleh kaum
yang pernah merasakan cinta itu sendiri, namun terkadang belum cukup buat kita
untuk bisa menyimpulkan bahwa hakikat dari cinta yang sesungguhnya. Sebenarnya
kita hanya coba untuk mengartikan makna dari cinta melalui pengalaman pribadi,
sehingga untuk mencapai arti cinta yang sebenarnya akan sulit merepresentase
perspektif dari orang lain tentang cinta.
Lahir
dari sebuah pengalaman cinta, maka saya coba untuk mengartikan cinta menurut
versi saya secara pribadi, cinta menurut saya itu adalah sebuah “kecocokan
jiwa”, didalam kecocokan jiwa itu sendiri terdapat beberapa faktor pendukung
tercapainya sebuah kecocokan jiwa, diantaranya adalah; ada rasa saling mengerti
dan memahami, saling memberi dan meneriama, saling menghargai, saling
melengkapi. Sehingga kapan diantara beberapa faktor pendukung ini tidak
terpenuhi maka yakin dan percaya kecocokan jiwa juga tidak akan terpenuhi.
Memang sulit untuk menjalani proses menuju kecocokan jiwa, butuh sebuah
kematangan dalam berpikir dan bertindak, karena kapan kita sudah menentukan
pilihan, maka apapun bentuk konsekuensinya, sekalipun itu bertolak belakang
dengan karakter kita, kita sudah harus siap untuk menerima dan menjalankan demi
kebahagiaan pasangan kita karena itu merupakan sebuah pengorbanan sebagai bukti
keseriusan dalam sebuah hubungan. Pengorbanan akan menjadi sebuah beban yang
sangat berat dan sangat sulit untuk dilaksanakan apa bila tidak dilandasi
dengan sebuah keikhlasan. Satu hal yang pasti adalah bahwa setiap perjalanan
cinta membutuhkan pengorbanan, karna sudah menjadi sebuah harga mati dan tidak
ada seorang pun yang bisa menafikan keberadaannya. Namun pengorbanan itu
sendiri akan hilang maknanya bahkan akan menjadi sesuatu yang tak berarti jika kita salah mengartikakan esensi dari
pengorbanan. Walaupun pengobanan menjadi harga mati dalam cinta, tetapi tidak
semua pengorbanan dijadikan sebagai uji keseriusan.
Ketika
kita berbicara persoalan keinginan maka kita akan berbicara juga mengenai rasa,
tetapi ketika kita coba berbicara tentang rasa yang dikaitkan dengan keinginan maka
cinta itu sendiri akan mengalami pergeseran makna dan terbatas ruang
lingkupnya. Jadi sesungguhnya keinginan itu tidak bisa diidentikan dengan
cinta. Sehingga kapan keinginan dijadikan sebagai patokan untuk membuktikan
ketulusan cinta maka itu bukan merupakan sebuah pilihan yang ideal. Karena
cinta hanya bisa dibuktikan dengan tindakan yang rasional maka pernikahan
adalah pilihan idealnya.
Cinta selalu dapat ditemui di dalam ucapan, dan tingka laku orang yang mencintai,
karena setiap ekspresinya terdapat kehangatan yang muncul sebagai keindahan,
kelemah lembutan serta kehalusan. Hati yang terbakar oleh api cinta cenderung untuk
melelehkan setiap hati yang dijumpainya. Cinta dapat menyembuhkan lebih dari
apapun didunia.
Tak ada sesuatu seperti sentuhan seorang ibunda ketika anaknya mengalami gangguan jasmani atau sakit. Bila seorang pencinta sakit, tak ada lain yang
lebih baik menjadi obat penawarnya selain kehadiran orang yang dikasihi.
Di
dalam sebuah hubungan asmara sangatlah mudah untuk mulai mencintai, dan inilah yang
dilakukan semua orang. Tetapi sangat sulit untuk memelihara cinta, karena cinta
membuka mata pecinta untuk melihat melalui kekasihnya, meskipun ia menutup mata
pecinta terhadap semua yang lain. Mula-mula, semakin pecinta mengetahui
kekasihnya, semakin banyak ia melihat cacat maupun kebaikannya, yang secara
alami pada awal cinta menjatuhkan kekasih dari ketinggian di mana pecinta
menempatkan kekasihnya. Hal lain adalah bahwa di samping atribut-atribut yang
memikat pecinta satu sama lain, terdapat kecenderungan pada masing-masing
untuk menghancurkan. Ego selalu memainkan siasat dalam membawa dua
hati bersatu dan kemudian memisahkannya kembali. Karena itu di dunia ini
hampir semua orang berkata, “Aku cinta,” tetapi sangat jarang cinta yang senantiasa
meningkat sejak dimulai. Bagi pecinta sejati, sungguh aneh dan merasa riskan mendengar orang
berkata, “Aku telah mencintinya, tetapi kini aku tak mencintainya lagi”.
Cinta harus secara mutlak bebas dari pementingan diri sendiri,
jika tidak cinta tidak dapat menciptakan cahaya yang benar. Bila api tak menyala, ia
tak memberi cahaya, hanya asap yang keluar darinya, asap yang menyebalkan.
Demikianlah cinta yang mementingkan diri sendiri, baik cinta kepada manusia maupun kepada
Allah, ia tak berbuah karena meskipun tampak seperti cinta kepada orang lain
maupun kepada Allah, ia sesungguhnya adalah cinta kepada diri sendiri.
Gagasan yang masuk ke dalam pikiran seorang pecinta seperti, “Jika engkau
mau mencintaiku, aku akan mencintaimu, tetapi bila engkau tak
mencintaiku, aku pun tak akan mencintaimu,” atau “Aku mencintaimu sebesar
cintamu kepadaku,” dan semua pernyataan serupa, adalah pernyataan cinta
yang palsu. Peran yang dijalankan seorang pecinta dalam hidup lebih sulit
dari pada peran kekasih. Seyogyanya tirani dari pihak yang dicintai dipandang dengan
toleran serta lapang dada oleh pecinta sebagai
sesuatu yang alami di dalam
rana percintaan.
Lantas
dari mana datangnya cinta antara sepasang insan manusia? Kata cinta akan
memberikan kesan yang berbeda bagi orang yang mendengarnya, tergantung
bagaimana pengalaman masing-masing orang tentang cinta. Ada yang menangkap
datar saja, ada yang tersipu malu, ada yang memerah pipinya bahkan ada yang
tersenyum bahagia, atau senyuman getir di bibir malah menghindari kontak mata
ketika ditanya mungkin tak ingin diketahui rahasia yang pernah dialaminya
tentang cinta. Semakin pahit pengalaman atau cerita yang pernah terjadi maka
biasanya pendapat yang dikemukan akan terdengar miring atau berkesan negatif.
Tetapi justru bisa juga menimbulkan kearifan karena bisa memetik pelajaran yang
berharga dari pahit getirnya cinta. Namun itu semua tergantung kedewasaan
seseorang dalam menanggapi pengalaman batinnya tersebut.
Bagaimanapun
rasanya cinta pada tiap orang, wajar saja jika tiap orang punya pandangan yang
berbeda, sekalipun untuk sebagian orang pandangan tersebut terkesan egois,
miring atau terlalu berlebihan sehingga tidak masuk akal. Bahkan seringkali
kita sulit untuk menjabarkan secara tepat bagaimana rasanya cinta tersebut.
Mungkin jika kita diminta untuk mengemukakan pendapat tentang sesuatu hal maka
dengan lancar kita akan dengan mudah menjabarkan secara rinci dan tepat tetapi
tentang cinta sepertinya sulit juga untuk memberikan uraian lengkap secara
tepat. Berbicara tentang cinta tak akan pernah habis-habisnya, terlebih bagi
yang sedang mabuk cinta, banyak anekdot dan cerita lucu tentang cinta, ada yang
mengatakan jika cinta datang maka orang yang begitu diam bisa mendadak menjadi
pintar bicara atau bisa menuliskan berlembar-lembar puisi tentang cinta. Cinta
yang datang akan disertai berbagai reaksi, bagi sebagian orang akan lebih
memperhatikan penampilannya, ia bisa saja kelihatan semakin cantik dan keren
karena hatinya terus bernyanyi sehingga keceriaan tersebut terpancar dimata dan
wajahnya. Ada pula yang dengan suka rela kehilangan miliknya karena ingin
berkorban agar mendapatkan sebuah cinta. Begitu dasyatnyakah cinta sehingga
bisa merubah orang menjadi berbeda.
“Ketika
cinta memanggilmu maka dekatilah dia walau jalannya terjal berliku, jika cinta
memelukmu maka dekaplah dia walau pedang di sela-sela sayapnya melukaimu”.
Khalil Gibran begitu manisnya mengambarkan tentang cinta dan reaksi apa yang
harus kita lakukan. Ia punya nasehat yang bagus untuk orang-orang yang sedang
jatuh cinta. Bahwa cinta tidak saja berhubungan dengan perasaan yang
menyenangkan, kegembiraan atau serasa dunia penuh bunga tetapi cinta juga tidak
jauh dari rasa sakit, terluka atau kecewa. Ibarat sebuah mata pisau cinta bisa
saja menyuguhkan cerita yang romantis tetapi sebaliknya ia tidak segan-segan
membuat luka yang mengangga di hati. Jadi Khalil Gibran mencoba untuk membuka
mata kita yang sedang jatuh cinta untuk tidak larut dengan kesenangan semata
tetapi menyadari juga bahwa kita pun harus siap-siap untuk terluka.
Lalu bagaimana cinta bisa datang dan
bisa pergi? Ada pantun usang yang mengatakan bahwa cinta itu datang dari mata
lalu turun ke hati. Memang segala sesuatunya di mulai dari mata, karena mata merupakan
jendela dunia, sebagai salah satu mediator untuk melakukan kontak dengan dunia
luar.
Namun
secara psikologis kita bisa membahas proses yang terjadi ketika cinta datang
bahkan mengapa ia bisa berlalu. Ada proses yang cukup panjang ketika cinta akan
datang, walau kalau dilihat dari segi waktu buat sebagian orang terasa singkat,
tetapi tetap saja ada proses yang terjadi didalamnya yang tidak disadari orang
yang sedang jatuh cinta.
Sebelum
cinta datang biasanya hal yang pertama kita rasakan adalah bahwa ada subyek
yang membuat kita tertarik dalam hal ini seseorang dari lawan jenis kita.
Ketertarikan terhadap orang lain (Atraktif) dan pada tahap ini adalah sebuah
awal kita melihat sesuatu yang berbeda dengan orang tersebut, biasanya proses
ini kita mulai melakukan pencarian tentangnya sehingga kita akan mulai menilai
perasaan sendiri apakah kita tertarik hanya sebatas simpatik, karena ia pintar,
ganteng atau asyik untuk diajak ngobrol. Semakin kita mulai mengenal lebih
dalam orang tersebut dan kita pun mulai memutuskan untuk melanjutkan hubungan
ke arah yang lebih jauh maka minat (Interest) kita akan semakin besar untuk
mengenal orang tersebut lebih jauh dan mendalam.
Kita
ingin lebih dekat dengannya, ingin mengenal lebih jauh sifatnya, pribadinya
bahkan mungkin minatnya atau pemikiran-pemikirannya. Rasa ingin tahu ini
(Curiousity) akan berlanjut dengan pencarian banyak hal tentangnya. Dan dalam
pencarian ini biasanya kita akan mulai mengukur berdasarkan standar yang ada
pada kita, sosok ideal yang kita punya, dan mulai mempertimbangkan apakah ia
bisa menjadi seseorang yang berarti untuk kita atau cukup pantas diberikan
porsi tertentu dalam relung hati atau hanya sebatas deretan orang yang pernah
kita kenal tetapi untuk menggali lebih dalam kita sudah ogah karena mulai
melihat ia tidak cocok dengan standar ataupun sosok yang ideal. Namun jika kita
memutuskan ingin lebih dekat dengannya maka mulailah muncul perasaan yang
berbeda, kita ingin lebih mengetahui pribadinya, mulai muncul perasaan peduli
(Care) akan hal-hal yang terjadi padanya, bahagia akan
keberhasilan-keberhasilannya, bangga akan kelebihannya dan punya toleransi
terhadap kekurangannya, ingin selalu di dekatnya dan tidak ingin tertinggal
akan setiap peristiwa yang dialaminya dan yang paling penting kita ingin
menjadi bagian dari dirinya, kehidupannya serta dunianya. Jika hal ini terus berlanjut
maka puisi Khalil Gibran pun mulai dilatunkan, lagu yang syahdu pun mulai
berkumandang karena cinta telah datang.
Semakin dewasa seseorang akan
semakin hati-hati dalam memutuskan dan kadang kala pula cinta jatuh tidak
selamanya ditempat yang empuk seringkali juga ia jatuh ditempat yang salah, di
waktu yang tidak tepat bahkan mungkin di situasi yang tidak memadai. Cinta bisa
jatuh dimana saja bisa juga diatas tumpukan paku yang tajam, kerena ketika
cinta datang ia tidak bisa memilih dan ditahan. Sama halnya dengan cinta yang
datang, cinta yang pergi pun tidak terlepas dari sebuah proses. Cinta tidak
begitu saja pergi/berlalu, tetapi banyak faktor yang menyebabkan ia memudar.
Jika rasa ketertarikan telah hilang, kepedulian mulai luntur maka cinta pun akan
padam. Hal ini juga berhubungan erat dengan sikap. Mungkin yang tadinya kita
mengebu-gebu, antusias ketika berjumpa dengan si dia, tetapi ketika cinta mulai
luntur sikap kita pun berubah sama sekali. Cinta bisa luruh juga sama halnya
dengan cinta yang datang. Yang jelas ia berubah seiring dengan sikap kita yang
juga mulai berbeda dengan sebelumnya. Ibarat sebuah tanaman ia akan tumbuh
subur, menghasilkan buah atau bunga jika ia terus dipupuk, disirami, dipelihara
dan terlindungi dari segala cuaca, hama dan gangguan lainnya, begitu juga
halnya cinta. Cinta yang telah tumbuh tidak mengandalkan hanya sebelah pihak
jika ingin tetap subur dan berakar di dalam hati, tetapi masing-masing pasangan
punya andil didalamnya. Harus saling memberi, menerima, peduli, berkomunikasi,
menanamkan kepercayaan dan mau belajar bersama-sama untuk bertumbuh dan
berkembang. Dengan demikian cinta akan terus bisa dipelihara bahkan mampu
bertahan di segala musim sekalipun badai menerpa.
Di mana-mana para remaja sedang
jatuh cinta. Senja menjadi waktu istimewa bagi mereka. Waktu untuk bertemu,
saling memandang, duduk berdampingan dan bercerita tentang cinta sembari
merajut asa dengan sang pujaan hatinya. Saat itu yang ada dalam hati dan pikiran
mereka adalah pesona sang pujaan yang dicintai. Tak terlintas sedikit pun bahwa
senja yang indah yang mereka lalui itu akan menjadi saksi sejarah bagi mereka
kelak. Ya, kelak ketika masa muda mereka harus dipertanggungjawabkan di hadapan
Sang Pencipta Cinta. Dan jatuh cinta mereka pun harus dipertanggung jawabkan
kepada-Nya di hadapan pengadilan Dzat Yang Maha Adil, yang tidak ada sedikit
pun kezaliman dan ketidakadilan di sana.